Keterengan :
Novel ini belum ada judul,
penggunaan garis miringnya belum semuanya karena gua capek ngeditnya wah, masih UTS geh, menyusul ngeditnya ^_^
Novel ini belum ada judul,
penggunaan garis miringnya belum semuanya karena gua capek ngeditnya wah, masih UTS geh, menyusul ngeditnya ^_^
BAB 1
My life is so perfect.
I do not mean perfect but close to perfect. Family,
love, friends, and
life there is no overload
my brain. Everything is casual and fun. [1]
“Aku inginkamu melihatku di setiap alam bawah sadarmu.” Ucap Hasya ketika di telfon.
“Mungkin aku nggak bisa melihat senyummu di sana tapi, di pikiranku, semua itu tergambar
jelas.”
“I want you here, in front of my
eyes, smiled at me, and it definitely makes me
happy.” [2] Aku menarik nafas sejenak. “Kadang aku berpikir mengapa
hubungan kita mendekati sempurna dan aku juga ingin sesekali kita ribut seperti
pasangan lain.”
Hasya terdengar seperti
tertawa kecil mendengar ucapanku. Baiklah, benar, aku merindukannya, aku
menginginkan dia ada di depan mataku dan bicara padaku. Namun, aku tahu dia
tidak di sini.
“Tapi terkadang timbul sebuah
pertanyaan, apa kamu benar-benar menuliskan nama aku di hati kamu?” Tanya Hasya,
aku tidak menjawab. “Baiklah, mungkin kamu belum berani untuk mengatakan
sesuatu tentang cinta.”
Cinta, aku tidak tahu ini cintaatau bukan. Bagiku, hidupku baik-baik saja bahkan tidak ada kecurigaan atau
kecemburuan. Aneh sekali padahal Hasya ada di luar kota dan kata kebanyakan
orang, cemburu tanda cinta.
Hasya, dia pacarku sekaligus
tunanganku. Mungkin terdengar sedikit aneh jika anak SMU seumuranku sudah
bertunangan tapi, sebelum SMU, aku memang sudah bertunangan sejak kecil.
Maksudku ketika aku kecil, aku di jodohkan dengan Hasya.
Pertama kali aku mengenal Hasya
adalah saat aku berusia 8 tahun. Mama dan Papa mengenalkannya padaku. Sejak
saat itu kami berteman dekat tapi, aku tahu kalau kami di jodohkan ketika aku
berusia 14 tahun.
Awalnya aku terkejut ketika di
jodohkan tapi, Hasya baik dan aku juga mengenalnya dengan baik selama
bertahun-tahun. Tanpa penolakan dariku atau dari Hasya, kami menerima
perjodohan ini toh sejak awal Hasya juga sudah perhatian padaku.
Sebelum aku
menerima perjodohan ini, Mama mengatakan semuanya bisa di batalkan jika aku
atau Hasya menolak tapi, tidak ada yang menolak di antara kami. Entahlah
padahal saat itu aku benar-benar tidak mengerti tentang cinta bahkan aku kurang
peduli tentang perasaan seorang cowok padaku. Mungkin ini aneh tapi, aku belum merasakan
yang namanya cinta sama sekali.
Kata Hasya,
bukan aku belum bisa merasakan cinta tapi belum merasakan sedih karena cinta.
Aku mengerti maksudnya, maksudnya, aku sudah memiliki cinta yang di sampingku
tapi aku belum merasakan sakit karena cinta.
“Zena, kamu belum tidur
sayang?” Mama masuk ke kamarku lalu duduk di ranjangku. “Apa yang tadi
menelfonmu Hasya?”
“Iya Ma, Mama mau telfonan
juga dengan Hasya?” Tanyaku, Mama menggeleng.
“Nggak.” Mama mengusap
kepalaku. “Apa kamu mencintainya?” Tanya Mama, aku hanya tersenyum penuh
misteri. “Mama berharap akan seperti itu.”
Mama benar, Mama tidak salah
mempertanyakan itu. Kalau Hasya, dia bicara pada Mama dan Papaku serta Mama dan
Papanya kalau dia mencintaiku tapi, aku tidak mengatakan seperti itu. Mereka
tahu kalau aku belum sepenuhnya mengerti cinta jadi mereka memakluminya.
“Jangan tidur terlalu malam,
besok kamu sekolah.” Kata Mama lalu
mencium keningku dan meninggalkan kamarku dengan menutup pintu kamar perlahan.
**
Life with no
problems, everything is fine, almost perfect, but
there is one thing, one thing I want. I
want to occasionally have problems
in my heart and
feel the pain of love. Once in my life[5]
“Zen, mau
kemana?” tanya Aldo, teman satu sekolah dan anak kelas tetangga. “Kantin kan?
Bareng sekalian.” Kami berjalan bersama.
Aldo atau
biasa di panggil Al, dia teman baikku di SMU dan dia salah satu cowok yang
mendapatkan banyak prestasi belajar di sekolah. Selain dia baik, dia juga di
kenal ramah dan sedikit humoris walaupun aku merasa, dia tidak humoris sama
sekali.
“Fisika
kemaren gimana Zen?” tanyanya, aku hanya mengangkat pundakku.
Kami sama-sama
mengikuti olimpiade fisika tapi, aku keluar untuk olimpiade tahun ini karena
kondisi tubuhku sedang di landa penyakit-penyakit ringan tapi berulang. Ini
aneh, memang aneh, tapi setidaknya, jika aku mundur, peluang untuk yang lain terbuka.
Bukankah itu menguntungkan?
“Zen, gimana?”
Tanyanya lagi. “Atau berita tentang lo ngundurin diri bener?”
“Ya begitulah
Al, lagian gua nggak pinter-pinter amat di fisika, masih banyak yang lebih
pinter dari gue.”
“Berarti gua
bakalan jarang maen ke rumah lo buat belajar.” Jelasnya tapi aku mengatakan
bahwa dia bisa sesekali kerumahku jika ingin belajar bersama dan tentunya, aku
tidak aka menolak.
Dia memesan
nasi goreng ketika di kantin dan segelas jus jambu. Katanya, sekarang sedang
musim demam berdarah jadi dia memakan makanan yang mengandung jambu. Aneh
sekali, agak membingungkan.
“Zen, nggak
mesen apa-apa?” Tanyanya, aku tersenyum. “Bilang aja minta bayarin. Bayar
sendiri geh.”
“Pelit, yaudah
jus jeruk aja dah.” Kataku kesal lalu memainkan handphoneku dan sudah ada pesan
masuk dari Hasya.
Kata Hasya,
bulan depan orang tuanya akan kerumahku dan dia menitipkan sesuatu untukku.
Kuharap dia akan menghadiahkanku sesuatu yang kusuka, menyenangkan sekali tapi,
mengapa hanya orang tuanya? Mengapa Hasya juga tidak ikut.
“Aku udah kelas 3, kamu ngerti kan?”
Hasya mengirim sms lagi dan aku
tersenyum tanpa membalas sms itu. Aku tahu, dia sudah kelas 3 SMU, beda
denganku yang baru kelas 1 jadi dia tentu saja lebih sibuk dari pada aku.
“Sms dari siapa
Zen?” Tanya Al, aku hanya tersenyum. “Atau senyum karena bisa satu meja di
kantin sama gua?”
“Nggak banget
dah.” Aku tertawa lalu langsung menyeruput jus jeruk yang sudah tersedia dimejaku beberapa detik lalu. “Oh iya Al, masa ulangan Fisika gue cuma dapet 80?
Bete bener lah,”
“Malu-maluin
gua aja lo ini.” Ucap Al agak menyindir. “Nggak biasa-biasanya ulangan fisika
lo cuma segitu, ada masalah tah?” Tanyanya, aku menggeleng. “Galau?” Aku
menggeleng lagi. “Begadang?” Aku menggangguk lalu dia tertawa. Memang, sehari sebelum
ulangan, aku begadang dan paginya, aku masih mengantuk.
Aku begadang
bukan karena sedih atau banyak pikiran tapi, aku membaca sebuah novel yang di
kirimkan Hasya beberapa hari lalu. Dan, ketika ujian Fisika, aku mengantuk
bahkan aku kesulitan membaca soal-soal itu. Sudahlah, itu sudah terjadi,
walaupun menjengkelkan, itu tetap terjadi.
“Udah nggak
usah di pikirin.” Kata Al, “Makan nih.” Dia menawariku nasi gorengnya. “Apa mau
gua suapin?” katanya sambil mengejek. “Galau tah cuma gara-gara nilai yang
pas-pasan?” Tanyanya, aku mengangguk.
Al berdiri
dari tempatnya duduk dan pergi entah kemana padahal makanannya belum habis
ditambah belum di bayar. Jangan katakan jika aku yang membayarnya.
“Nih…” Dia
memberiku secangkir coklat hangat. “Biar pikiran lo lebih tenang, kasian gua
liat muka lo aneh begitu.”
Al benar, aku
pusing sekali tapi, ini juga bukan masalah besar. Ini hanya masalah biasa yang
mudah terselesaikan. Entahlah, aku belum pernah menemui masalah besar dalam
hidupku atau masalah yang membuatku begitu sakit di dada lalu menangis. Memang,
aku pernah menangis tapi, itu hanya karena aku jatuh dari sepeda bukan karena
masalah yang menyangkut hati.
“Malah
ngelamun!” Al menjitak kepalaku.
“Emang gue
ngelamun tah Al?” tanyaku, Al malah membisu dan melanjutkan makannya yang belum
selesai. “Aneh,” kataku singkat.
Al makan
sambil tersenyum-senyum padaku. Rasanya dia benar-benar mengejekku karena nilai
ulanganku di bawah nilainya. Sial sekali, untung aku tidak satu kelas dengan Al
dan jika satu kelas, aku akan kesal dengan senyumnya yang seperti ini.
Selesai makan,
Al mengantarkanku ke kelas. Katanya, dia ingin sekalian mampir ke kelasku untuk
menemui Niko, sahabat baiknya. Terserah, setidaknya aku ada teman untuk kembali
ke kelas.
**
Mama
menungguku di teras rumah seperti biasa. Entahlah, semenjak SMU, Mama sangat
memperhatikanku dan terlalu banyak bertanya tentang kegiatanku padahal
sebelumnya tidak sama sekali.
“Thanks ya Nik udah mau nganterin.”
Kataku pada Niko, teman sekelasku.
“Harusnya sih
sama Aldo aja.” Niko tersenyum lalu mengedipkan matanya. “Zena, Zena, lo suka
kan sama Aldo?”
“Buat gosip
aja lo ini, udah pulang sana.” Kataku mengusir. “Tau gini naik bis aja gua
tadi!”
Niko
langsung pergi setelah kuusir. Aish menyebalkan sekali cowok yang bernama Niko,
setiap hari berkata yang tidak-tidak padaku. Namun, aku juga tidak bisa marah karena
dia berhak berpendapat.
“Padahal ada
yang ingin Mama bicarakan pada Niko.” Kata Mama ketika aku mencium pipinya. “Oh
iya, apa yang di katakan Niko tadi?”
“Nggak tau Ma,
sepupu yang aneh dia itu.” Jelasku dan Mama tersenyum lalu menyuruhku duduk di
sampingnya. Selain teman sekalas, Niko juga sepupuku walaupun aku tidak pernah
berharap seperti itu.
Mama merapikan
rambutku dan memeriksa handphoneku
seperti biasa. Kalau ini memang rutinitas Mama dan Papa setiap hari yaitu
memeriksa isi handphoneku.
Pemeriksaan ini sudah terjadi sejak pertama kali aku memegang handphone.
“Kamu sedih?”
Tanya Mama, aku menggeleng. “Semalam kamu begadang lagi?” aku mengangguk dan
Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tadi pagi Hasya menelfon, dia menanyakan
kabar tunangannya.”
“Tadi pagi
juga dia udah nelfon geh, pake acara nelfon Mama, cari perhatian sih dia itu.”
Kataku kesal lalu langung masuk kamar.
Aku kesal
karena Hasya menelfon Mama pagi-pagi karena itu akan membuat Mama memberi
pertanyaan ini-itu padaku. Aish tapi, aku cukup senang juga karena dia dekat
dengan keluargaku.
Sesampainya di
kamar, aku merapikan tasku dan membuka laptopku untuk menyelesaikan tugas sejarah.
Aku heran dengan tugasku, mengapa aku tertarik sekali menyelesaikan tugas ini
padahal tugasnya di kumpul 2 minggu lagi. Aneh,
Selesai
mengerjakan tugas sejarah, aku merebahkan tubuhku dan menutup mata. Berharap
menemukan sebuah cerita dalam hayalanku seperti di film spongebob.
“Kamu udah pulang kan? Kamu lagi belajar atau santai?” sms
Hasya, aku mengerti, maksudnya, dia ingin menelfonku. Aku membalasnya dan
kukatakan bahwa tugasku sudah selesai. “I want
to hear a voice that kept calling
me”[6]
“Kamu nggak
les hari ini?” Tanyaku, katanya dia sedang libur les hari ini. “Ada yang aneh,
rasanya benar-benar aneh, ada yang kamu rahasiakan?”
“Banyak yang
kurahasiakan tapi, aku tidak bisa menyebutkannya satu per satu.” Jelasnya, aku
diam membisu sambil mencerna ucapannya. “Semua rahasia tidak penting karena
tidak ada yang menyangkut sebuah nama di hatiku.”
Kami
berbincang di telfon sampai aku tidak sadar bahwa pembicaraan kami sudah 2jam
lebih padahal yang kami bicarakan tidak begitu penting. Aneh sekali, aku memang
terbiasa nyaman saat bicara dengannya.
“Bukahkah
kedua orang tua kamu akan ke Lampung bulan depan?” Tanyaku, Hasya
mengiyakannya. “Bukahkah mereka akan menemui nenekmu? Mereka hanya 2 hari jadi
rasanya tidak mungkin aku bisa bertemu mereka.”
“Kamu harus
datang ke tempat nenekku, dia merindukanmu, percayalah.” Suara Hasya begitu
lembut. “Bukankah nenekku lebih menyukaimu dari pada aku?”
“Tentu, dia
lebih menyayangiku dari pada kamu.” Aku tertawa kecil dan kurasa Hasya tidak
akan kesal dengan hal ini.
They welcomed
my presence in their
family, they liked
me from the beginning, they
thought I was part of their family.[7]
It's fun. My life
was nearly perfect. I dunno, I think that
love in my heart is
HASYA, nothing else. I loved it, his attention to me, and felt all the more perfect. I
began to believe that
love should not
be tested with a cry. However, I also want to cry because of a
love. I want to
feel hurt. [8]
“Sayang, kamu kok diem? Ada
yang sedang kamu pikirkan?” Tanyanya dan aku langsung tersadar dari pikiranku
yang lain. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanyanya lagi, aku hanya terbatuk.
“Tentang Al?”
“Nggak kok, ih kan itu cuma
gosip di sekolah aja loh sayang.” Aku menjelaskan dan Hasya tertawa.
“Twitter kamu penuh dengan
omongan temen-temen kamu.” Kata Hasya sambil mengejek dengan tawa yang
tertahan. “Tapi, aku percaya dengan apa yang kamu pikirkan. Apapun yang
membuatmu bahagia, itu harus kamu lakukan.”
Setelah aku berbincang di
telfon dengan Hasya, aku keluar kamar dan makan malam. Mama sudah memanggilku
dari tadi dan Hasya memakluminya.
Ketika aku sampai di meja
makan, sudah ada Niko, sepupuku. Dia kerumah untuk mengambil titipan Mama untuk
Ibunya.
“Numpang makan malem sekalian,
lo nggak keberatan kan?” Niko terlihat cengengesan. Aku benar-benar kesal dengan
sepupuku yang satu ini. Selain dia kurang peduli denganku, dia juga kadang
kelewat peduli, aku agak heran dengannya. “Ngapa lo ngeliatin gua? Alergi makan
deket gua tah?”
“Iya Nik, alergi banget gue.”
Kataku dan langsung duduk. “Nik, lo udah ngerjain tugas kimia belum?” tanyaku,
dia menggeleng. “Jangan lupa kerjain biar besok pagi lo nggak nyontek sama
gue.”
“Terserah.” Katanya singkat
lalu malahap makanan dengan cara yang aneh.
Niko, dia sepupuku yang paling
menyebalkan. Namun, Mama pernah bilang kalau akau tidak boleh membencinya
karena dia nakal, membuat masalah, dan hal-hal lainnya memiliki sebab tertentu.
Tentu saja, aku tidak akan pernah membencinya tapi aku hanya kesal.
Selesai makan, Niko menarik
tanganku. Dia mengajakku bicara di teras depan sebelum dia pulang.
“Antara kita berdua aja ini
Zen yang tau, lo jujur, lo suka kan sama Al?” Tanya Niko, aku langsung menjitak
kepalanya. “Serius ini, perjodohan itu nggak enak, gua juga nggak mau liat
sodara gua nggak ngerasain namanya jatuh cinta.”
“Iya, lo tau banget gue itu
bingung tentang hati gue mengenai cinta tapi, bukan gini lah.” Jelasku. “Gue
sama Al itu temen baik, sama kayak yang lainnya, kayak gitu kok di
permasalahin.”
“Serius? Siapa tau Al emang
suka sama lo kan seru.” Niko
nyengir tidak mengenakkan. “Iya kan?” Aku hanya tertawa. “Ya terserah tapi,
seenggaknya lo jangan nerima gini aja, siapa tau Hasya bukan yang terbaik.”
“Terserah dah, sana
pulang!” Aku mengusir Niko dan dia pergi denga senyum penuh gangguan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar