BAB II LANDASAN TEORI
A.
Perilaku Konsumtif
1. Pengertian Perilaku Konsumtif
Perilaku konsumtif
dapat diartikan sebagai
suatu
tindakan memakai produk yang
tidak tuntas artinya, belum habis sebuah produk yang dipakai seseorang telah menggunakan produk jenis yang sama dari merek lainnya atau dapat disebutkan, membeli barang karena adanya hadiah yang ditawarkan atau membeli suatu produk karena banyak orang
memakai barang
tersebut Sumartono
(dalam Endang, 2002).
Perilaku konsumtif tersebut mengarah pada
suka berbelanja
(shopoholics), pola konsumsi, kebiasaan merayakan hari-hari penting seperti hari ulang
tahun, perkawinan, syukuran, dan sebagainya di restoran. Bagi
orang-orang modern, perilaku semacam ini dapat dilakukan demi gengsi di mata orang lain.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif
adalah pola hidup individu
yang dinyatakan dengan tindakan dan kebiasaan,
juga menggambarkan bagaimana
individu berintegrasi dengan lingkunganya
dan
mencerminkan individu dalam berbuat
dan berperilaku.
Selain itu,
perilaku konsumtif juga dapat berarti sebagai pola hidup individu
yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatannya dalam membelajakan uangnya dan bagaimana
menghabiskan waktu.
2. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Perilaku Konsumtif
Ada banyak faktor
yang mempengaruhi perilaku konsumtif yaitu faktor ekternal
dan
faktor internal.
1. Faktor eksternal seperti
iklan, keluarga dan faktor lingkungan
sedangkan
2. Faktor internal seperti motivasi, proses belajar dan konsep diri (Lina &
Rosyid, dalam Indah, 2013)
Menurut (Mangkunegara, 2002) faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku konsumtif adalah :
1. Faktor budaya, budaya
dapat
didefenisikan
sebagai hasil
kreativitas manusia dari satu generasi ke
generasi
berikutnya yang sangat menentukan
bentuk prilaku dalam kehidupanya sebagai anggota masyarakat.
2. Faktor kelas sosial, kelas sosial adalah suatu kelompok
yang terdiri dari sejumlah orang yang mempunyai kedudukan yang
seimbang dalam masyarakat. Menurut Werner
kelas sosial dibagi menjadi tiga golongan,
antara lain: kelas
sosial kalangan atas,
menengah, dan rendah.
3. Faktor kelompok anutan,
kelompok anutan didefenisikan sebagai
kelompok orang yang mempengaruhi sikap,
pendapat,
norma, dan
perilaku konsumen. Pengaruh
kelompok-kelompok
anutan terhadap
perilaku konsumen antara lain dalam menentukan produk dan merk yang mereka gunakan yang sesuai
dengan
aspirasi kelompok.
Kelompok anutan ini terdiri
dari keluarga, kelompok
dan organisasi tertentu.
4. Faktor keluarga, keluarga merupakan suatu unit masyarakat yang terkecil yang perilakunya sangat mempengaruhi dan menentukan dalam mengambil keputusan membeli.
5. Faktor pengalama belajar, belajar dapat didefenisikan sebagai suatu
perubahan perilaku akibat pengalaman sebelumnya. Perilaku
konsumen dapat dipelajari karena sangat
dipengaruhi oleh pengalaman belajarnya.
6. Faktor kepribadian, kepribadian merupakan suatu bentuk dari sifat-sifat
yang ada
pada
diri individu yang sangat menentukan prilakunya. Kepribadian
konsumen akan mempengaruhi
persepsi
dan pengambilan
keputusan dalan membeli.
7. Faktor sikap dan keyakinan, sikap adalah suatu penilaian kognitif
seseoarang
terhadap suka atau tidak suka, perasaan emosional yang
tindakanya cenderung
kearah berbagai
objek atau ide. Sikap sangat mempengaruhi
keyakinan,
begitu
juga sebaliknya.
8. Konsep diri,
konsep diri
didefenisikan
sebagai cara
kita
melihat diri
sendiri dan dalam waktu tertentu sebagai gambaran tentang apa yang
kita pikirkan.
9. Gaya hidup,
gaya
hidup merupakan suatu konsep yang paling
umum dalam memahami prilaku konsumen, gaya
hidup
merupakan suatu pola rutinitas kehidupan dan aktivitas seseorang
dalam menghabiskan waktu dan
uang. Gaya hidup menggambarkan aktivitas seseorang, ketertarikan
dan pendapat
seseorang terhadap
suatu
hal.
Jadi kesimpulan yang
dapat ditarik dari pengertian perilaku konsumtif adalah merupakan suatu perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak
didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kecendrunagn untuk mengkonsumsi
sesuatu tanpa batas dimana individu lebih mementingkan faktor keinginan daripada
kebutuhan serta
ditandai oleh adanya
kehidupan mewah yang memberikan
kepuasan
dan kenyamanan fisik.
3. Aspek-aspek Perilaku Konsumtif
Menurut
Sumartono
(dalam Endang,
2013), defenisi konsep perilaku
konsumtif amatlah variatif, tetapi pada intinya
muara dari pada pengertian perilaku
konsumtif adalah
membeli barang tanpa pertimbangan rasiaonal atau bukan atas dasar
kebutuhan pokok. Sumartono (dalam Endang, 2013)
mengungkapkan bahwa secara operasional aspek perilaku konsumtif yaitu:
a) Membeli produk karena iming-iming hadiah.
Individu membeli suatu
barang karena adanya hadiah yang ditawarkan jika membeli barang tersebut. Hal ini akan memberikan
pemikiran kepada konsumen
bahwa hanya
dengan
membayar satu
produk konsumen
akan
mendapatkan produk
lebih.
b) Membeli produk karena kemasan menarik. Konsumen remaja sangat mudah terbujuk untuk membeli produk yang
dibungkus secara rapi dan
dihias dengan warna-warna yang
menarik. Artinya untuk membeli produk tersebut hanya
karena produk tersebut dibungkus
dengan rapi dan
menarik. Produk
yang dibungkus rapi akan membuat daya tarik lebih
kepada konsumen sehingga konsumen yang
melihat akan tertarik untuk membeli produk
tersebut.
c)
Membeli
produk demi
menjaga penampilan
diri dan gengsi.
Konsumen remaja mempunyai keinginan membeli yang
tinggi karena
umumnya remaja mempunyai
ciri khas
dalam
berpakaian, berdandan,
gaya hidup dan sebagainya dengan tujuan agar remaja
selalu
berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang
lain, membelanjakan
uangnya lebih banyak untuk menunjang penampilan diri. Hal ini akan lebih menunjang penampilan remaja yang pada dasarnya sudah memiliki penampilan yang menarik.
d)
Membeli produk atas pertimbangan harga mahal dianggap prestige.
Konsumen remaja cenderung
berprilaku yang ditandakan oleh adanya kehidupan mewah sehingga cenderung menggunakan segala hal yang dianggap
paling mewah,
individu akan merasa
lebih
percaya diri
dan dihargai
kalau
barang-barang yang dikenakanya adalah
produk mahal.
e) Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status. Remaja mempunyai kemampuan membeli yang tinggi, baik dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya sehingga hal tersebut dapat
menunjang hal eklusif dengan barang yang
mahal dan memberi kesan berasal dari kelas
sosial yang
tinggi. Dengan membeli
suatu produk dapat
memberikan simbol status agar kelihatan lebih
keren dimata orang lain.
f) Memakai produk karena unsur komformitas terhadap model yang
mengiklankan. Remaja
cenderung meniru perilaku
tokoh
yang
diidolakanya dalam bentuk menggunakan segala sesuatu yang
dapat dipakai tokoh idolanya. Remaja
juga cenderung memakai dan mencoba produk yang
ditawarkan bila ia mengidolakan publik figure produk
tersebut. Oleh karena itu, produk apaun yang dipakai oleh tokoh idolanya
maka akan menjadi pertimbangan besar bagi
remaja terhadap
produk yang
akan
dipakainya.
g) Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang positif. Remaja sangat terdorong
untuk mencoba suatu produk karena mereka percaya apa yang dikatakan oleh iklan yaitu dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Hurlock (1999)
juga menambahkan bahwa dengan membeli produk yang
mereka
anggap dapat mempercantik penampilan fisik,
mereka akan menjadi lebih percaya diri.
h) Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda). Remaja akan cenderung
menggunakan produk jenis sama dengan merek yang lain dari produk sebelumnya ia
gunakan, meskipun
produk tersebut belum habis digunakan, hal ini dilakukan karena remaja cenderung ingin melihat
perbedaan khasiat produk yang satu
dengan yang
lain.
B. Remaja
Pengertian Remaja
Masa remaja
adalah
masa
transisi dalam rentang
kehidupan
manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Memahami arti
remaja
penting karena remaja adalah masa depan setiap masyarakat. Di negara-negara
barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang
berasal dari kata dalam
bahasa
latin “adolescere”
(kata bendanya adolescentia =
remaja), yang berarti
tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita,
2007).
Berkaitan dengan remaja
madya, Petros Blos (dalam Sarwono, 2004) mengatakan bahwa perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri
(coping),
yaitu secara
aktif mengatasi stres dan mencari jalan keluar baru dari
berbagai masalah. Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada
tiga tahapan remaja yaitu, remaja
madya (early
adolescence), remaja madya (middle
adolescence), ramaja akhir (late adolescence).
Menurut Petros Blos
(dalam Sarwono, 2004) pada tahap remaja madya itu
sendiri sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang
menyukainya. Ada
kecendrungan pada remaja madya ini untuk “narcistic”, yaitu mencintai
diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang
mempunyai sifat-sifat
yang sama dengan dirinya. Selain itu,
ia berda dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau metrealistis,
dan sebagainya.
Remaja Madya (Desmita, 2007) adalah remaja pertengahan yang
dimana rentang usianya antara 15-18 tahun. Sedangkan remaja itu sendiri adalah dimana peralihan dari kanak-kanak menuju untuk persiapan masa dewasa, yang
mana
terjadinya gejolak-gejolak emosi yang
membuat remaja diserang
oleh strom dan stress, yang mana usia remaja berkisar antara 12-21 tahun.
Jadi menurut beberapa defenisi yang
dikemukakan diatas remaja madya itu
sendiri adalah remaja yang
berada pada rentan usia 15-18 tahun, yang
mengalami
perubahan fisik maupun psikologis dan cendrung dianggap belum matang, dimana
mereka berada pada kondisi yang membingungkan
terhadap dirinya sendiri.
C. Status Sosial Ekonomi Orangtua
1. Pengertian Status Sosial Ekonomi Orangtua
Santrock
(2003) mengartikan status sosial ekonomi
atau kelas sosial adalah mengelompokkan orang-orang
berdasarkan pekerjaan, pendidikan, dan
karakter ekonomi
yang serupa. Menurut Pitirim A. Sorokim (dalam Soekanto,
2001) kelas sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-
kelas
secara bertingkat (hirarki.
Marx, Weber, dan Schumpeter
(Syani dalam Narwoko dan Suyanto, 2007)
mengartikan status sosial sebagai suatu kelompok manusia yang
didalamnya terdapat pembedaan atas sub kelompok
yang didasarkan pada kesamaan derajat. Faktor
utama
dalam penentuan kelas adalah jenis aktivitas ekonomi,
pendapatan, tingkat pendidikan, tipe
rumah tinggal, jenis kegiatan rekreasi,
jabatan dalam
berbagai organisasi
dan sebagainya. Sedangkan
status ekonomi adalah
tingkatan atau level berdasarkan pendapatan atau
penghasilan yang diperoleh.
Menurut Ormrod (2008), Status Ekonomi
(SE) mencakup sejumlah
variabel, termasuk penghasilan keluarga. Status Ekonomi sebuah keluarga, baik SE tinggi, SE menegah, maupun SE rendah,memberi petunjuk pada
kita tentang kedudukan keluarga didalam
masyarakat, seberapa
besar fleksibilitas
yang
dimiliki anggota keluarga dalam hal tempat tinggal dan apa yang mereka beli,
seberapa besar
pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan politis, kesempatan pendidikan apa yang dapat mereka tawarkan kepada anak – anak
mereka dan sebagainya. Ekonomi
keluarga adalah tingkat ekonomi dan
penghasilan atau pendapatan yang diperoleh dalam rangka memenuhi kebutuhan
keluarga serta memberi
kebahagiaan bagi anggota keluarganya.
Pendapatan ekonomi keluarga menurut Kartono (2006) bahwa Status ekonomi keluarga
adalah kedudukan seseorang atau keluarga
di masyarakat berdasarkan pendapatan per
bulan. Status ekonomi keluarga dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan
dengan
harga barang
pokok.
2. Tingkatan Status Sosial Ekonomi
Menurut Sarwono (1976) ada
tiga golongan status sosial ekonomi dalam masyarakat yaitu :
a) Kelas rendah yaitu orang yang
tidak memiliki jabatan tertentu, pendidikan terbatas, dengan penghasilan yang
tidak memadai (mencukupi) seperti
petani,
buruh, tukang becak, pesuruh
dan sebagainya.
b) Kelas sedang (menengah) terdiri dari pegawai, pengusaha menengah dan kecil, kaum intelektual, guru, pedagang
dan
sebagainya. Kelas sedang ini sangat
bervariasi
anggotanya
mulai dari
yang sangat
terdidik sampai dengan setengah terdidik, dari yang sangat kaya sehingga mendekati kelas tinggi sampai dengan pegawai negeri yang
penghasilannya sangat terbatas
karena jabatan dan
pendidikannya
tidak dapat digolongkan dalam
kelas
rendah.
c) Kelas tinggi yang terdiri dari sebagian sangat kecil dari masyarakat yang
menduduki jabatan-jabatan
tertinggi dalam negara atau mempunyai pendapatan yang sangat besar sehingga taraf hidupnya jauh melebihi kebanyakan orang
dan
mempunyai kekuasaan sangat besar.
Weber (dalam henslin,
2006)
mendefenisikan status
sosial ekonomi adalah sekelompok
besar orang yang peringkatnya saling berdekatan dalam hal
kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Ketiga unsur ini
memisahkan orang dalam
gaya hidup
yang berbeda-beda.
Perbedaan mengenai tingkat status sosial ekonomi begitu
tajam, hal ini dapat dilihat dari bentuk bangunan rumah, profesi
pekerjaan maupun tingkat pendidikannya. Selain itu, juga didukung berdasarkan data BKKBN (2001)
mengenai golongan kesejahteraan
keluarga sebagai
berikut:
a) Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan dasar (basic need)
secara minimal, seperti kebutuhan akan pangan, sandang, papan .
b) Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial
psikologisnya, seperti kebutuhan
akan
pendidikan, keluarga berencana
(KB), interaksi dalam keluarga, interaksi
lingkungan tempat tinggal,
dan transportasi.
c) Keluarga sejahtera II adalah keluarga disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial
psikologisnya, tetapi
belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, seperti kebutuhan untuk menabung
dan memperoleh informasi.
d) Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang telah dapat memenuhi
seluruh kebutuhan dasar,
sosial psikologis, dan pengembangan
keluarganya. Tetapi, belum
dapat memberikan
sumbangan yang teratur
pada
masyarakat, seperti sumbangan materi, dan berperan aktif
dalam
kegiatan
kemasyarakatan.
e) Keluarga sejahtera
III plus adalah keluarga
yang telah dapat
memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis dan
pengembangannya serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan
berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
3. Golongan Pendapatan Ekonomi Orangtua
Achmad, 2006 (dalam Okti, 2008)
menggolongkan penghasilan tertinggi hingga terendah seseorang berdasarkan pada kelompok jenis pekerjaannya. Untuk kelompok
pekerja non-staf seperti:
petani,
pelayan,
kernet,dan
guru. Penghasilanya antara lain:
a) Penghasilan
terndah mulai dari
Rp 300.000-500.000,-/bulannya. b)
Penghasilan
sedang mulai
dari Rp 600.000-1.000.000,-/bulannya.
c) Penghasilanya tertinggi mulai dari Rp
1.000.000-1.700.000,-
/bulannya.
Untuk kelompok pekerja staff
seperti:
karyawan perusahaan, dokter, pengacara, dan dosen.
Penghasilanya antara lain:
a) Penghasilan
terendah
mulai dari Rp 1.800.000-2.500.000,-/bulannya. b)
Penghasilan
sedang mulai
dari Rp 3.000.000-5.000.000,-/bulannya.
c) Penghasilan
tertinggi mulai dari
Rp 5.000.000-8.000.000,-/bulannya.
Berdasarkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia (KRI) (dalam Badan Pusat
Statistik dan
litbang kompas dalam sugionto: 2012) menyatakan
pendapatan ekonomi penduduk
digolongkan
3 (tiga) golongan
yaitu :
a) Penduduk kategori miskin atau bawah
Rp 243.729,-/bulannya. b)
Penduduk kategori menegah
Rp 750.000-1.900.000,-/bulannya
c)
Penduduk kategori atas ≥Rp 2.000.000,-/bulannya
Dengan demikian, dari beberapa pendapat tersebut maka disimpulkan status sosial ekonomi adalah variabel yang kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat berkaitan dengan penghasilan.
Dengan
nilai pendapatan
keluarga perbulanya sebesar
a) kategori miskin atau bawah Rp 243.729,-/bulannya.
b) kategori menegah
Rp 750.000-1.900.000,-/bulannya c) kategori atas ≥
Rp 2.000.000,-/bulannya
D. Kerangka Pemikiran, Asumsi, Hipotesa
1. Kerangka Pemikiran
Kerangka teoritis ini akan menjelaskan perilaku konsumtif pada remaja ditinjau dari
status
sosial ekonomi
orangtua. Perilaku konsumtif mempunyai
gambaran yang bermacam-macam. Menurut Sumartono (dalam Endang, 2013), perilaku konsumtif
merupakan suatu tindakan menggunakan
suatu produk secara tidak tuntas. Artinya belum habis sesuatu produk yang dipakai seseorang
telah menggunakan produk lain dengan fungsi yang sama. Hal ini tentunya akan menghabiskan pengeluaran individu
lebih banyak. perilaku konsumtif harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai, pada akhirnya perilaku seperti ini
tidak hanya
mengacu pada dampak ekonomi, tetapi juga
psikologis dan sosial (Arsy,
2006).
Seiring
perkembangan biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, remaja memasuki tahap dimana sudah lebih bijaksana dan sudah lebih mampu membuat keputusan sendiri. Hal
ini meningkatkan kemandirian remaja,
termasuk juga posisiny
sebagai konsumen. Remaja memiliki pilihan mandiri mengenai apa yang hendak ia
lakukan dengan uangnya
dan menentukan sendiri produk apa yang hendak ia lakukan dengan uangnya dan menentukan
sendiri produk apa yang ingin
ia beli. Namun dilain pihak, remaja sebagai konsumen memiliki karakteristik ; 1) mudah
terpengaruh oleh rayuan penjual, 2) mudah
terbujuk rayuan
iklan, terutama pada kerapian
kertas
bungkus,
3)
tidak berfikir hemat, 4) kurang
realistis,
romantis,
dan mudah terbujuk (implusif) (Mangkunegara,
2002)
Weber
(dalam henslin, 2006) mendefenisikan status sosial ekonomi adalah
sekelompok
besar orang yang peringkatnya saling berdekatan dalam hal
kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Ketiga unsur ini
memisahkan orang dalam
gaya hidup
yang berbeda-beda.
2. Asumsi
Dari teori
dan uraian
yang telah dikemukakan
di
atas.
Maka penulis memiliki asumsi
sebagai berikut:
a) Perilaku konsumtif adalah merupakan suatu prilaku membeli dan
menggunakan barang yang
tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kecendrunagn
untuk mengkonsumsi sesuatu
tanpa batas dimana individu lebih mementingkan faktor
keinginan daripada kebutuhan serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah yang memberikan
kepuasan
dan kenyamanan fisik.
b) Pada dasarnya
perilaku konsumtif
sangat erat kaitanya
terhadap kehidupan remaja.
c) Dampak dari perilaku konsumtif diantaranya dapat menimbulkan
masalah keuangan pada
keluarga, jika individu berasal dari keluarga
mampu. Dampak ekonomi ini mungkin
tidak akan dirasakan. Naman,
dampak ini akan menjadi masalah jika
individu berasal dari keluarga biasa/ kurang mampu.
d) Status sosial ekonomi
adalah sekelompok
besar orang yang
peringkatnya saling
berdekatan dalam hal kekayaan, kekuasaan dan
prestise. Ketiga
unsur
ini
memisahkan orang
dalam perilaku
konsumtif yang berbeda-beda.