Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap
muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli.
Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan
barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya
kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada
satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet,
kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.[1]
Jual
beli merupakan salah satu bidang muamalah yang sering dilakukan, dalam jual
beli ada aturan yang harus dipenuhi. Islam datang dengan membawa petunjuk dan
rahmat bagi seluruh alam, umat manusia diberikan kebebasan dalam melaukan
hubungan diantara sesama. Untuk mencapai kebutuhan hidup yang semakin kompleks,
maka dalam pemenuhan kebutuhan ditempuh dengan beberapa cara, diantaranya
dengan jual beli. Bahkan menurut Hasbi As-Siddiqy dapat dikatakan bahwa hidup
bermasyarakat itu hanya berkisar pada jual beli[2]
Di
dalam QS An-Nisa 29 juga disebutkan bahwa jual beli harus dilakukan suka sama
suka yang ayatnya berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu
Berdasarkan
ayat diatas syarat jual beli adalah atas dasar kerelaan. Dalam hidup
bermasyarakat, terjadi banyak interaksi baik dalam sosial maupun dalam bidang
ekonomi. Allah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya untuk saling menjaga hubungan
dan tidak mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Dalam praktik jual
beli maupun perniagaan sekalipun, tidak diperbolehkan melakukannya dengan cara
yang zalim. Dengan demikian, diisyaratkan bagi pelaku jual beli, wajib ada
kerelaan antara keduanya, sehingga tidak menimbulkan kerugian dimasyarakat yang
akan mendatangkan kemaslahatan bersama dan keberkahan dari Allah swt.
Prinsip
dasar yang ditetapkan dalam jual beli sama dengan prinsip-prinsip dasar
norma-norma Islam yaitu kejujuran, kepercayaan dan kerelaan, prinsip jual beli
telah diatur demi menciptakan dan memelihara i’tikad baik dalam suatu transaksi
jual beli, seperti takaran yang harus diperhatikan dan kejelasan barang yang
diperjualbelikan.[3]
Jual
beli berasal dari kata baa’a yang artinya menjual, dan al buyyu yang
artinya menukar sesuatu dengan sesuatu.[4]
Pengertian jual beli secara bahasa dalam lingkup bahasa Indonesia yaitu,
kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan tatacara tertentu.
Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang.[5]
Secara
terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli, sebagian ulama lain memberi
pengertian :
a.
Pendapat Hasby Ash-Shidiqy
Ia
mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran benda dengan benda lain dengan
jalan saling merelakan atau memindahkan hak dengan ada penggantinya dengna cara
yang diperbolehkan. Akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta,
maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.[6]
b.
Ulama Hanafiyah
Ia
mendefinisikan bahwa jual beli memiliki dua arti yaitu arti khusus dan arti umum.
Dimana arti khusus yaitu, jual beli adalah tukar menukar benda dengan dua mata
uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar menukar barang dengan uang
atau semacamnya menurut cara khusus. Arti umumnya yaitu, jual beli adalah tukar
menukar harta dengan harta menurut cara khusus, harta mencakup zat (barang) atau
uang.[7]
c.
Pendapat Ibn Qudamah
Menurutnya
jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan
milik dan pemilikan. Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan,
karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa
menyewa.
d.
Ulama
Syafi’iyah
Menurutnya
jual beli sebagai suatu akad yang mengandung tukar menukar harta dengan harta
dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda
atau manfaat untuk waktu selamanya.[8]
Dari
beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian
tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara
kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya
sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan
disepakati.[9]
Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandung
hal-hal antara lain:
1)
Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
2)
Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang,
yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
3).
Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk
diperjualbelikan.
4)
Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memiliki
sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan
kepemilikan abadi.[10]
[1] Ghufron A Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual (Cet.1;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.46.
[2] Hasbi As-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Cet. Ke-2;
Jakarta: Bulan Bintang), h.426.
[3] Muhammad Syarif Chaudrhy, Fundamental of Islamic Economic
System, terj. Suheman Rosyid, Sistem Ekonomi Islam : Prinsip
Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012), h. 132.
[4] A.W
Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), h.124
[5]
Hasby As-Shiddiqy, Fiqh muamalah, (Jakarta: CV. Bumi Aksara, 2006), h.97
[6]
Hasby As-Shiddiqy, Fiqh muamalah, (Jakarta: CV. Bumi Aksara, 2006), h.97
[7]
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Cet. Ke-1; Jakarta: Amzah,2010),
h.175.
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Cet.1; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada; 2002), h. 73.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Cet.1; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada; 2002), h.68-69.
[10] Asjumuni A. Rahman, Qaidah- qaidah Fiqh (qawa’idul
fiqhiyah) (Jakarta: Bulan Bintang), h. 4.
- Mohon Maaf jika ada kesalahan menulis Footnote. -