“Kenapa? Kenapa aku harus mengikuti semua
ucapannya? Kenapa?!” Aurora mengacak meja riasnya, “aku gak memiliki alasan
harus mengikuti ucapannya!”
“Coba kecilkan volume suaramu. Ini menyakitkan
telingatku. Yaampun.” Lucy, hantu yang sudah berusia ratusan tahun itu mengeluh
karena Aurora tak bisa diam diwaktu selarut ini, “walaupun dunia kita berbeda
tapi ini juga kamarku.”
Mata Aurora melotot tajam seolah ingin memakannya,
“kamu itu hantu. Pergilah keluar. Ini sudah lewat tengah malam. Bukankah tugas
hantu menakuti manusia? Kenapa malah berisik sekali disini.”
Ucapan Aurora membuat Lucy kesal setengah mati. Ia
tak habis pikir kenapa ada manusia seperti Aurora. Manusia yang tak takut atas apapun bahkan ketika
pertamakali melihatnya pun, gadis itu tak takut sama sekali.
“Apa?! Apa?” Aurora mulai mendekati Lucy. Hantu
itu ketakutan dan kabur menembus dinding agar tak melihat wajah Aurora yang
bahkan lebih menakutkan dari hantu jika sedang marah.
Diluar sana, Lucy berjalan-jalan. Ia pergi ke
hutan yang tak jauh dari sana. Beberapa teman hantu mengejeknya yang takut pada
manusia bukan sebaliknya.
“Takut? Aku? Kalian juga takut padanya!” sanggah
Lucy tak terima. Ia ingat sekali bagaimana Aurora mengomel semalaman di danau
yang ada ditengah hutan ini dan ketika para hantu menakutinya, Lucy justru
mengomeli mereka dengan mata tajam, “aku bisa saja mengatakan kalau kalian
mengejek Aurora.”
“Hei Lucy! Jangan bawa gadis mengerikan itu
kesini. Pesona kecantikannya memang luar biasa tapi tatapan mata gadis itu mengerikan.
Sangat menakutkan. Bahkan lebih menakutkan dari....,” mereka tak berani
melanjutkannya.
**
Padangan Aurora tak menentu. Ia terus berjalan
tanpa tujuan. Langkahnya baru berhenti ketika pemuda berjubah hitam berdiri
tepat di depannya.
“Gadis ini! Kenapa mengusik pekerjaanku!” suaranya
meninggi, “selalu membuatku khawatir!” ia membuka penutup kepalanya.
Diperlihatkan wajahnya yang putih pucat dengan mata biru tajam, “kembalilah
kerumahmu. Atau aku akan melakukan sesuatu yang mungkin kamu pikirkan.”
Kaki Aurora mundur beberapa langkah. Ia pergi dari
sana dan kembali ke rumah. ‘sial! Kenapa
aku tak pernah bisa membantah ucapan malaikat aneh itu?! Argh!’
Ketika tiba di ruang tengah, ia melihat sebuah
bingkisan disana. Tertera bingkisan itu untuknya. Aurora membuka bingkisan itu.
Ia mendapati sebuah cincin hitam disana. ‘ini?
Bukankah cincin ini...,’ tubuhnya lemas seketika dan ia pingsan.
Aurora pingsan beberapa jam. Ia baru bangun ketika
hantu Lucy terus memakinya.
“Aku mendengarmu. Berisik sekali!” Aurora mencoba
mencari kesadarannya kembali, “argh! Cincin hitam itu benar-benar!”
Lucy sudah melihat cincin hitam itu. Ia mengatakan
kalau sebaiknya Aurora memakainya saja dan tak usah banyak memikirkan hal-hal
yang belum tentu terjadi.
“Sebentar, aku ingin bertanya. Apakah kamu bertemu
malaikat itu? Maksudku, malaikat yang selalu bisa mengendalikan amarahmu.”
“Hm,”
“Begini saja, kamu berikan cincin mengerikan itu
padanya. Bukankah kalau kamu gak mau memakainya, kamu juga gak bisa
membuangnya? Berikan saja pada malaikat kematian itu, mungkin bisa dibawa ke
neraka.”
Mendengarnya, Aurora tertawa. Seandainya saja Lucy
tahu cincin apa itu, mungkin hantu itu tak akan sembarangan bicara. Sayangnya,
Lucy tak tahu apapun.
Lucy hanya hantu yang hidup untuk menakuti manusia
bukan untuk menyelidiki sesuatu. Dan, Lucy juga bukan hantu yang suka penasaran
dengan kehidupan manusia apalagi kehidupan Aurora. Hantu itu tak ingin
penasaran bagaimana hidup Aurora sebelumnya maupun di masa yang akan datang.
“Hei! Kalau aku jadi hantu, menurutmu, apa kita
bisa berbagi kamar juga?”
Bulu-bulu ditangan Lucy langsung bergetar hebat
ketika mendengarnya. Hantu itu berkata kalau malaikat kematian tak akan bisa
melepaskan Aurora dari ikatannya sehingga tak akan ada kesempatan menjadi
hantu.
“Tapi..., aku berteman dengan malaikat kematian.
Bagaimana ini?”
Lucy tersenyum licik, “gadis ini! Bagaimana bisa
ia berteman dengan malaikat kematian? Sial! Malaikat itu musuh semua hantu!”
“Jangan seperti itu. Sudahlah. Malaikat itu tak
bisa menyentuhmu selagi kamu tetap diam dirumahku. Oke?”
“Itu karena ia menyukaimu. Dasar manusia! Hal
seperti itu saja gak bisa dipahami!”
***
Malaikat kematian, ia bermana Eros. Ia memiliki
tingkatan paling tinggi diantara seluruh malaikat kematian. Dan ia tak pernah gagal
untuk menjemput kematian seseorang. Namun, sejak ia ditugaskan, ia tak pernah
melihat daftar nama Aurora untuk tanggal kematiannya.
‘Manusia
tidak mungkin abadi. Bahkan hantu pun meiliki tanggal kematian. Tapi, bagaimana
ada satu manusia yang tidak memilikinya? Dia bahkan bukan vampire tapi...,’ Eros membaca seluruh buku catatan
kematian di perpustakaan akhirat. Ia benar-benar tak menemukan nama Aurora.
Jika Aurora adalah vampire tentu hal
yang wajar tapi gadis itu sepenuhnya manusia.
“Apa anda masih mencari tahu tentang gadis itu?”
tanya penjaga perpustakaan.
“Tidak ada satu malaikatpun yang bisa
menjelaskannya.” Eros mendesah lelah. Ia mencari tahu itu bukan karena
penasaran tapi karena merasa Aurora satu-satunya manusia yang dapat melihat
malaikat kematian. Tapi selain itu, ia mencari tahu lebih banyak karena
sejujurnya, ia mulai merasa ada yang aneh.
***
Lucy membaca sebuah buku cerita dikamar. Ia
mengatakan pada Aurora kalau buku tersebut membosankan. Ia ingin menanyakan
sesuatu pada Aurora namun meminta Aurora tak marah jika pertanyaannya
aneh-aneh.
“Apa kamu ini vampire?”
tanya Lucy, Aurora heran, “maksudku, hanya kalangan vampire yang bisa melihat malaikat kematian. Hantu saja gak bisa
melihatnya.”
“Kalau aku mau, aku juga ingin menjadi vampire agar bisa hidup abadi tapi, aku
manusia. Dan, kalau aku vampire,
seharusnya aku bersembunyi dari malaikat kematian karena jelas dia akan
membunuhku. Hei! Vampire itu musuh
semua malaikat jenis apapun.”
Kepala Lucy mengangguk-angguk, “atau karena memang
jodohmu adalah malaikat kematian itu? Haha! Kamu bisa dipandang seperti orang
gila oleh manusia lain. Hanya kamu yang dapat melihatnya. Manusia? Jelas tidak
bahkan hantu pun tidak. Ckck,”
“Hei!” Aurora menatap tajam Lucy, “mau
macam-macam?”
“A...apa ini? Argh! Kamu selalu melakukan ini.
Baiklah, bye.” Lucy kabur tunggang
langgang. Ia paling takut kalau mata Aurora melihatnya seperti itu. Sangat
mengerikan.
***
Ken membolak-balik lembaran komik ditangannya.
Sesekali ia tersenyum kecil tapi ia mencoba menahan tawanya tersebut. Nafasnya
begitu berat. Entah apa yang membuatnya terasa berat untuk tersenyum.
“Hei!” Aurora menepuk lengannya, membuatnya
sedikit terganggu, “aku mau bercerita tapi, apakah kamu akan percaya?”
“Tentang malaikat kematian? Tentang hantu?” Ken mendesah
lelah, ‘aku tidak tahu ini nyata atau
tidak tapi dia pacarku dan dia seperti orang asing ketika aku mengenalnya lebih
jauh’
“Ken?”
Tangan Ken meletakkan komik tersebut ke dalam
tasnya kemudian ia menatap Aurora beberapa detik, “sebentar lagi jam dimulai.
Duduklah atau guru akan menegurmu.”
Mata Aurora terbelalak mendengarnya. Ia kesal
bukan main. Kenapa tiba-tiba Ken berubah seperti ini dan kenapa Ken seolah-olah
mulai memberi jarak.
‘Baiklah.
Apa karena aku terlalu banyak bercerita padanya? Kenapa? Bukankah aku ini
pacarnya? Aku sudah jujur tapi kenapa dia seperti ini?’
Duduk Aurora tidak tenang. Teman-temannya berbisik
kalau sepertinya Ken memang sedikit aneh. Walaupun Ken terkenal sebagai cowok
yang cuek, tidak pernah senyum, dan pilih-pilih teman, tapi cowok itu selalu
berusaha tersenyum untuk Aurora.
“Apa kalian ada masalah? Ini bisa jadi berita
heboh di sekolah,” temannya berbisik, “apa yang sebenarnya terjadi?”
Semua mulai bergosip. Suara-suara itu terdengar
bahkan yang duduk jauh dari Aurora pun, gadis itu mendengarnya. Pendengarannya
lebih tajam dari orang kebanyakan jadi suara sekecil apapun akan dapat
didengarnya.
‘Ini
menyebalkan! Ken mempermalukanku!’
Tangannya meraih tas di atas meja dan keluar
kelas. Hatinya tak beraturan tapi ia tak ingin menangis. Ia hanya marah. Kesal.
Ia sedang tak ingin di dalam kelas dan melihat wajah Ken. Rasanya Ken
mengacuhkannya. Membuatnya malu di depan teman-teman.
Ia terus melangkah. Tanpa arah. Tak mungkin Aurora
pulang kerumah karena ia pasti akan mendapat rentetan pertanyaan pulang secepat
itu. Entahlah ia harus kemana. Tidak ada tempat yang ia tuju. Bahkan jika ia
ingin pergi ke taman, tempat wisata, ataupun tempat belanja, ia tak bisa kesana
karena dirinya masih pelajar. Pelajar yang berkeliaran di jam seperti ini tentu
akan dibawa oleh petugas keamanan kota.
Matanya memandang sekitar. Berlari-lari kecil
sambil bersembunyi hingga ia melihat jalan menuju hutan. ‘ini hutan terlarang itu, kan?’ ia menimbang-nimbang. Apakah ia
harus masuk hutan terlarang atau harus ditangkap petugas keamanan. ‘argh! Amarah ibu dan ayah lebih menyeramkan
dari masuk ke hutan itu!’
Cepat-cepat ia memasuki hutan itu ketika melihat
petugas keamanan kota berkeliling. Ia melewati semak-semak dan beberapa
tumbuhan aneh yang tak pernah dilihatnya. Kakinya tak berhenti. Ia penasaran.
Banyak tumbuhan yang tak pernah dilihatnya atau ada dalam buku-buku ilmiah.
‘aku
mendengar suara gemericik air’
Tiba-tiba Eros, si malaikat kematian berdiri di
depannya tapi Aurora langsung menutup mata dan berjalan lurus. Jika ia melihat
wajah malaikat itu, tentu ia tak bisa berkata-kata. Dan, Eros, langsung pergi
dari sana dengan kekesalannya.
“Wah!” mata Aurora berbinar, “kenapa ini hutan
terlarang?! Ini sangat indah. Benar-benar mempesona,” ia melihat lautan bunga
ungu bersinar cerah. Ada pelangi yang muncul diatas bunga-bunga itu, “bunga ini
wangi,” ia berlarian dan menghempaskan tubuhnya diatas bunga-bunga itu tapi
justru tubunya masuk ke air.
Aurora sadar jika bunga itu tidak tumbuh diatas
tanah tapi diatas air. Ia tersenyum sambil berenang menyusuri lautan bunga itu.
Hingga ia merasakan kalau kakinya terangkat oleh sesuatu. Sebuah tumbuhan aneh
dari dalam air mengikat kakinya dan memindahkannya ke sebuah dahan dari pohon
besar.
“Katakan, siapa yang mengizinkanmu datang ke
tempat ini?” tanya tumbuhan itu, Aurora mengangkat bahunya, “katakan atau kamu
akan ada didasar air selamanya.”
“Tidak ada yang mengizinkanku dan tidak ada yang
melarangku,” ucapnya formal. Tumbuhan itu mulai mencekik lehernya, “hei! Sial!”
Aurora melepaskan cengkraman tumbuhan itu, “kenapa kamu mencekikku dengan
akarmu yang menggelikan ini?! Yaampun!”
Tumbuhan itu tak bisa menahannya. Tangan Aurora
benar-benar kuat dan terasa panas, “manusia macam apa kamu ini!”
“Dan kamu! Hei! Tumbuhan jenis apa ditempat ini?!
Semua tumbuhan aneh!”
Tiba-tiba banyak tumbuhan mulai berbicara ini dan
itu. Aurora kesal. Ia meminta mereka semua diam. Ia hanya ingin menikmati
tempat ini sesaat tanpa gangguan.
“Tanpa gangguan? Sadarlah siapa yang mengganggu kehidupan
kami!” mereka mendekat pada Aurora.
Kesal, Aurora menatap tajam mereka semua. Matanya
benar-benar menusuk hingga suasana di hutan itu menjadi dingin. Para tumbuhan
itu langsung diam dan kembali pada kesibukan mereka sebelumnya.
Namun, berbeda dengan para tumbuhan, berbeda
dengan penghuni lain yang merasakan dingin menyengat. Mereka adalah vampire. Mereka merasakan sebuah ancaman
sekaligus sebuah perlindungan.
“Ken! Coba kamu mengeceknya!” teriak seorang
wanita pada Ken.
Ken segera melesat tapi ia terhenti ketika melihat
Aurora, pacarnya. Ia tak percaya dengan apa yang telah dilihatnya. Tak mau
Aurora melihatnya, ia kembali ke rumah.
“Ada apa? Apa yang kamu temukan?” seorang pemuda
menginginkan jawaban begitu pun dengan yang lainnya.
“Dia Aurora. Pacarku. Manusia. Tapi, bukan aku
yang membawanya ke tempat ini.”
“Ma? Manusia? Gak mungkin. Dinginnya tempat ini
menunjukkan ia bukan manusia juga bukan vampire.”
Kepala Ken menunduk. Ia tak dapat menjelaskan
apapun. Keluarga vampire itu
bergerombolan pergi untuk menemui Aurora. Entah mengusirnya atau membunuhnya,
Ken tak ingin membayangkan.
“Siapa kalian?” tanya Aurora ramah, “ah, ada yang
tinggal dihutan ini? Tapi kenapa hutan terlarang? Yaampun, kalian ini kan
vampire. Sudahlah, aku hanya ingin menghabiskan waktuku disini sejenak. Jangan
berisik.”
Para vampire itu kesal. Mereka mencoba untuk
menyentuh Aurora dan melakukan sesuatu buruk padanya. Tapi, mereka tak tahan
ketika mata Aurora memandang mereka. Ada rasa sakit di sekujur tubuh mereka
ketika Aurora melakukan itu.
“Apa aku harus memberitahu malaikat kematian kalau
kalian bersembunyi disini? Haruskah?” Aurora tertawa kecil, “yaampun!” ia turun
dari pohon besar itu dengan melompat. Tanpa luka. Para vampire tak berani
mendekat lagi. Mereka membiarkan Aurora berkeliling seorang diri di tempat ini.
“Sepertinya gadis itu gak berbahaya.”
“Sepertinya begitu tapi....,” seorang vampire tua
berpikir, “sudahlah. Dimana Ken? Bukankah gadis itu pacarnya? Dia harus
bersembunyi. Jika gadis itu menemukannya maka ia akan tahu kalau Ken bukan
manusia.”
Sedang Aurora mendengar semua pembicaraan mereka.
Ia mendesah lelah. Ia sudah tahu sejak awal kalau Ken adalah vampire. Ia bisa
membedakan mana manusia dan mana vampire. Terlebih, Eros memberitahunya tapi
Eros tak dapat membunuh Ken karena Ken belum sepenuhnya menjadi vampire, ia
masih vampire baru yang setengah jiwanya masih manusia.
***
Lucy terkejut ketika tahu Aurora pergi ke hutan
terlarang dan bertemu para vampire. Ia berkata kalau para vampire itu sangat
kasihan harus bertemu gadis mengerikan.
“Hei!”
“Ken ada disana? Dia melihatmu?”
“Ya, tapi ia pergi dan bersembunyi. Bukankah ini
menyedihkan? Dia membuatku malu di sekolah, dia juga bersembunyi, dan yang
jelas, dia seolah memang akan meninggalkanku.”
Tubuh Lucy melayang-layang di udara. Ia berkata
kalau jodoh Aurora mungkin bukan manusia tapi vampire atau malaikat kematian,
“aku benar, kan?”
“Hei!” Aurora kesal tapi ia tak marah, “Lucy, lain
kali temani aku kesana. Tempat itu sangat indah. Luar biasa.”
Sejenak Lucy ingin menolaknya tapi karena Aurora
yang mengajak, ia yakin ia tak akan di kurung para vampire itu.
***
Eros menemui Aurora. Mereka bicara di balkon. Ia
bertanya apakah Aurora baik-baik saja berada di hutan itu dan apakah Aurora tak
merasa takut.
“Takut? Aku? Seorang Aurora? Gak mungkin”
“Gadis ini!” ia mengacak rambut Aurora. Membuat
gadis itu terpaku beberapa saat, “kamu bahkan gak takut dengan malaikat
kematian. Ini menarik.”
“Kamu juga menarik. Kamu bisa berteman dengan
manusia.” Ia tertawa kecil. Dirinya bercerita kalau Ken benar-benar akan
meninggalkannya, ia harus melakukan apa? Ia tak ingin ditinggalkan oleh Ken
begitu saja, “aku bercerita tentang Lucy, tentangmu juga. Tapi, ia gak pernah
cerita tentangku. Ini mnyebalkan!”
Bersambung......, (lagi nyari inspirasi lagi buat ngelanjutin tulisan ini)