“Aku bukan Circe yang akan merubahnya menjadi
monster karena dia bukan Scylla.
Bukan. Baik Airin atau El, keduanya gak ada yang bertolak belakang,” ucapku
lirih, Kevin terlihat seolah tak senang dengan hal ini, “kenapa? Hei, ada apa?”
Sebuah bola tiba-tiba meluncur
tepat didepan mataku sebelum Kevin sempat menjawab, “seharusnya El gak usah
bermain basket jika..., sudahlah,” ia mengusap kepalaku dan kembali ke
lapangan. Sedangkan aku, hanya bisa memberi semangat.
Jika Kevin mengatakan waktu
yang kumiliki sebelum ini terbuang sia-sia, aku tak merasa seperti itu. Apa
yang kulakukan sebelumnya, bukan berarti ada hal lebih yang ingin kudapatkan. Kevin
mengatakan aku terlalu munafik untuk menyangkalnya dan benar, aku akan menjadi
orang munafik untuk satu hal ini.
**
“El sedang sakit, kurasa
seperti itu,”
“Siapa yang memberitahumu?
Kami bahkan gak mengetahuinya. Bagaimana bisa?” ia melemparkan banyak
pertanyaan padaku seperti pemburu berita, “kamu paranormal?”
Aku tersenyum, memintanya
untuk diam dan melanjutkan latihan atau aku akan mendoakannya agar tak menjadi
kapten basket lagi.
“Paranormal, ckck,”
Jika saja Kevin tahu mengapa
aku bisa menebaknya. Jika saja Kevin tahu apa alasan El tidak datang latihan.
Namun, kurasa, Kevin tahu semuanya termasuk alasan El masuk tim basket.
“Apa-apaan ini? Dimana El?”
tanya Maura yang baru saja tiba, “dimana El?” tanyanya lagi seolah aku anak
kembar siam yang tak terpisahkan dengan El, “ups, gue lupa kalau El sudah sama Airin.
Maaf,”
Tanpa basa-basi, aku menjambak
kecil rambutnya. Maura pun membalasnya. Kami saling membalas kemudian tersenyum
melihat tim basket sekolah kami sedang berlatih.
Rama melambaikan tangannya
pada kami. Tidak. Ia hanya melambaikan tangan pada Maura, pacar kesayangannya.
Dengan semangat 45, Maura seolah memberikan efek tersendiri bagi Rama, “Rama
mengatakan kalau El akan dikeluarkan dari tim basket, mengerikan sekali,”
ucapnya, aku mengangguk setuju, “koran sekolah pasti akan heboh. Gue harus
dapetin edisi itu,”
“Hei! Kenapa kalian seperti
itu pada El. Kalaupun benar ia berasa di tim basket hanya karena permintaan
Airin, bisakah sedikit lebih sopan ketika mengeluarkannya?”
Aku tak terima El akan
dikeluarkan dari tim basket sekolah apalagi para pemburu berita sangat
menantikan hal tersebut. Ia akan jatuh dalam satu hari.
“Lo memihak El? Lo siapanya El
sehingga melakukan itu? Bukankah itu akan menyakiti perasaan Kevin?”
“Hei!” aku mencubit tangannya,
“kenapa membawa-bawa Kevin!” aku pun pergi begitu saja dengan Maura yang terus
memanggil-manggilku, “diamlah!” aku berlari kecil-kecil tak ingin terlibat
lebih jauh lagi dengan celoteh Maura.
**
Kedua bola mata Airin sibuk
memilih pakaian yang akan ia kenakan saat menonton pertandingan basket melawan
sekolah tetangga. Ia memintaku untuk memilihkannya dan entahlah, ini untuk
pertamakalinya aku mengatakan ‘terserah’
padanya.
“Lo masih sayang sama El?”
tanyanya, aku mencoba tertawa kecil, “jangan sembunyikan sesuatu.”
“Dulu iya, sekarang gak geh.
Kan kan, gue sukanya sama Kevin,” kataku, Airin terlihat percaya, “kenapa? Lo
cemburu dulu gue deket sama El?”
Kepala Airin mengangguk kecil,
aku memandang tanya padanya, “dulu, lo lebih perhatian sama dia dalam hal
apapun. Dan, kalian sering keliatan berdua.”
“Yaelah Rin, itu karena gue
curhat aja sih sama dia. Ciee yang cemburu berarti cinta dong ya,”
Airin tampak malu. Ia
melanjutkan memilih pakaiannya lagi. Sedangkan aku, entahlah, rasanya ada yang
mengganjal dengan ucapanku. Rasanya jujur pada Airin akan membawa dampak buruk
bagi pertemanan kami.
**
“Apa-apaan ini?” Kevin
menggeledah isi tasku, “kenapa kamu selucu ini?” kemudian ia mencubit kedua
pipiku, “apakah kamu akan terus membohongi seisi sekolah kalau kamu menyukaiku?” aku
tersenyum tenang.
Jujur, ada rasa malu ketika
Kevin menemukan banyak vitamin dan obat alergi disana. Itu bukan milikku tapi
itu sesuatu yang dulu selalu tersimpan manis dalam tas sekolahku untuk
jaga-jaga jika El sakit. Aku tak bisa mengelak, Kevin benar, aku terlalu
munafik untuk mengakui perasaanku sendiri.
“Kenapa kamu gak pacaran dengan
Tito yang jelas menyukaimu?” ia mulai memojokkanku, “kenapa kamu mengatakan
kepada semua orang kalau kamu menyukaiku?”
“Entahlah, aku gak bisa
menjelaskannya dengan kata-kata. Pokoknya cup gak bisa aku jelaskan,” aku
tertawa kecil, Kevin tersenyum aneh, “ih! Kenapa seperti itu? Kamu mengejekku?”
**
“Edit berita itu! Edit atau
gue akan....” aku berpikir sesaat apa yang akan kugunakan untuk mengancam
mereka, “gue akan nangis seharian disini,”
“Gue penanggungjawab koran
sekolah, menurut gue, gak ada yang salah dalam berita yang akan terbit besok.
Koran sekolah gak pernah menerbitkan berita gosip, gak ada yang salah,” Tito
menjelaskannya padaku, “jangan membawa perasaan pribadi untuk menghentikan
edisi besok,”
“Lalu apa yang lo lakukan ini
bukan atas dasar perasaan pribadi?” tanyaku, ia tersenyum dengan mengatakan
jika ini memang kebenaran yang harus tertulis dikoran sekolah.
Baiklah. Aku salah. Benar jika
aku gak boleh menghentikan atau meminta berita yang akan terbit besok dirubah.
Itu benar-benar terlihat menyedihkan.
“Seharusnya Airin yang datang,
bukan lo,” Tito menepuk pundakku, “keluarlah dari ruangan ini, ini bukan tempat
yang bisa sembarangan orang datangi.”
Kakiku melangkah begitu saja.
Aku tak dapat berbuat banyak atau aku akan menjadi gadis yang benar-benar
terlihat menyedihkan.
“Kenapa keluar dari ruangan
itu? Apa karena...” Airin memandang tak percaya, “apa karena El? Apa karena
besok nama El akan menjadi tercemar?”
“El? Ada apa dengan El?” aku
berbalik tanya seolah tak tahu apapun, “gue kesana karena mau ketemu fans gue, kenapa? Ciee, lo takut ya gue
ada apa-apa sama El?”
**
Nama El benar-benar terlihat
buruk. Sangat tertulis jelas alasan mengapa ia dikeluarkan dari tim basket
sekolah. El telah dianggap mengotori tim basket sekolah. Aku benar-benar merasa
tak percaya berita itu tertulis jelas pada koran sekolah edisi minggu ini.
“El, lo baik-baik aja kan?”
El tak menjawab. Ia berjalan
dengan ekspresi datar. Aku tahu bagaimana marahnya ia ketika berita itu keluar
tapi aku sangat tahu kalau El tak akan bisa memukul atau menghajar orang-orang
yang terlibat dalam penerbitan koran tersebut.
“Hibur dia,” Maura tiba-tiba
disampingku, “bukannya dulu ada seseorang yang terus menjadi malaikatnya?”
“Atau bawakan makanan
kesukannya seperti dulu,” Rama menambahi.
Kini dikanan maupun kiriku
terdapat dua jin yang terus membuat kepalaku pusing.
“Biasanya lo paling ahli untuk
membuat suasana hati El tenang,” Rama menepuk pundakku, “apa ada penyesalan?”
aku tersenyum saja.
Baik Maura maupun Rama benar.
Aku sudah terlalu biasa untuk disekitar El dan menjauh darinya terasa sangat
sulit. Aku bahkan dapat mengira-ngira bagaimana suasana hati El sehingga aku
dapat mengatur pembicaraanku. Namun, itu semua hanya dulu. Aku tak ingin
terlihat didepan Airin kalau aku menyukai El. Aku hanya teman baik El, hanya
itu. Dan aku sendiri yang membuat El dan Airin menjadi sepasang kekasih jadi
aku harus bersikap seolah tak ada perasaan apapun.
“Gue kesel banget sama El tapi
saat seperti ini, gue kasian. Setelah gue pikir-pikir, lo orang paling tepat
untuk menghibur El tapi, lo beneran suka sama Kevin kan?” aku diam, “jangan
bilang karena lo gak enak sama Airin jadi ngalihin perhatian? Hei!” Maura mulai
kesal, “lo gak nangis kan dirumah?”
“Ya gak lah,” jawabku karena
memang aku tidak menangis dirumah, aku menangis ditempat lain, “Kevin mana ya,
kangen nih gak liat dia dari tadi.”
“Muka lo bete akut. Ada yang
janggal,” Rama memandang wajahku diikuti Maura, “aneh.”
**
Aku meletakkan obat alergi
dimeja El setelah tadi beberaa menit yang lalu kulihat El memakan udang
dikantin. Aku yakin tubuhnya akan gatal-gatal. Namun, beberapa detik kemudian,
aku mengambil lagi obat itu. El sudah memiliki Airin yang akan merawatnya dan
membawanya ke poliklinik sekolah.
“Ckck,” Kevin tiba-tiba
muncul, ia melirik obat alergi ditanganku, “ayo, ikut,”
Ia membawaku ke mading sekolah
dan menunjukkan sebuah lomba menyanyi. Aku menggeleng karena sudah lama aku tak
berlatih.
“Itu karena dulu waktumu
banyak dihabiskan bersama El. Perhatianmu pada El lebih dari sekedar teman.
Kini, sadarlah, sadar,”
“Hei! Aku gak tidur! Baiklah,
aku akan mengikuti kompetisi itu tapi bagaimana kalau aku kalah? Itu memalukan.
Apa yang harus kulakukan jika aku kalah?”
Kevin mengangkat tangannya dan
memberikan jari kelingkingnya, “kalau kamu kalah, mintalah apapun dariku tapi
kalau kamu menang, gunakan uang itu untuk berlibur dan ajak aku.”
Aku tertawa tapi aku suka
tantangannya. Bagaimanapun, menyanyi merupakan hal yang kusukai.
**
“Belakangan ini, kita seakan
jauh,” El bicara padaku diruang seni sekolah, “Airin mengatakan kalau..., lo
pernah ada perasaan sama gue,”
Aku tersenyum, mengangguk
kecil, mengiyakannya, “ya, itu dulu. Hanya perasaan sesaat. Gue Cuma gak mau
Airin salah paham aja,” aku melangkah, mendekati sebuah piano yang ada disana,
“ayahku sering sekali memainkan alat musik ini kemudian ia memintaku
bernyanyi,” celotehku, “belakangan, gue sedikit lupa tentang itu.”
El memandangku. Aku tahu, ia
tak mengerti kemana arah pembicaraanku. Ia terlihat bingung karena ia jelas tak
tahu apa yang kusukai.
“Lo baik-baik aja kan?”
Tanyanya, aku tersenyum
kemudian terlihat Airin berdiri didepan pintu ruang musik. Ia memandangku lesu
kemudian melangkah pergi. El menyadarinya, ia bingung dengan keadaan itu.
Kuminta El untuk mengejar
Airin tapi ia merasa kalau tidak ada yang salah dalam hal ini, “Airin tahu kita
teman baik,”
Ya, tentu saja. Hanya teman
baik.
**
Kevin menjitak kepalaku ketika
aku salah memilih lagu, “ini untuk perlombaan bukan untuk menyatakan isi
hatimu,”
“El hanya seorang anak dari
keluarga yang berantakan. Ayahnya tak pernah menyayanginya sungguh-sungguh dan
ibunya seolah tak peduli. Sedangkan kakaknya, mereka tampak seperti orang
asing. Kurasa, aku menyukainya hanya
karena rasa kasihan.”
“Pikiranmu mulai jernih,”
**
Aku tak mengerti, belakangan
kelas terasa sedikit tak nyaman semenjak El dan Airin resmi berpacaran. Jujur,
aku tak suka melihat itu apalagi saat mereka saling melempar senyum padahal aku
sendiri yang membuat itu terjadi.
“Mata pelajaran yang gak wajib
mending masuk ke kelas Kevin atau yang lain,” bisik Maura, idenya terdengar
bagus, “eh, El tuh....,” Maura memberitahu jika El sedang memperhatikan kami,
“aneh, jangan bilang El pernah ada rasa sama lo?”
Kuikuti saran Maura. Aku
mengambil jadwal dikelas lain saat mata pelajaran tak wajib. Dan, aku masuk ke
kelas Kevin yang disambut oleh teman-temannya dengan tampang bertanya-tanya.
Kevin yang tahu alasanku tak bertanya lagi, ia justru protes karena baginya itu
seperti sebuah pelarian.
“Kamu punya pacar? Kalau kamu
ribut dengan pacarmu karena ini, aku akan menjelaskannya,”
“Pertanyaanmu itu menggelikan,
apa kita harus pacaran dulu?” godanya, aku tertawa kecil kemudian ia menyuruhku
untuk memperhatikan pelajaran.
**
Aku makan siang dikantin
bersama Kevin dan Maura, tidak dengan El seperti sebelum-sebelumnya. Mereka
mengatakan agar aku benar-benar mengganti jadwal pelajaranku agar hatiku dapat
tertata lagi.
“Itu seperti melarikan diri,”
akuiku, “memalukan bukan?”
“Akan lebih memalukan jika
seperti ini,” Kevin tiba-tiba mencium pipiku yang langsung membuat seisi kantin
menoleh bahkan beberapa ada yang mengambil gambar kami, “ini akan menjadi
berita hangat di media sosial,”
Kukepalkan tanganku. Rasanya
aku ingin marah dan menamparnya tapi Maura mengatakan tidak. Aku melirik sisi
lain kantin, El dan Airin juga ada disini, melihatnya. Dengan berat, aku
mencoba tersenyum seolah senang.
“Kevin, kenapa lo nekat?
Jangan-jangan cewek yang pernah lo ceritain ke gue itu...,” Maura melirikku,
“wow, hebat!”
“Apa? Gue? Kenapa dengan gue?”
tanyaku, “jangan menyebarkan issue
disekolah ini.”
**
Airin mendatangi rumahku. Ia
tamu yang baik sehingga aku pun ramah padanya. Namun, ia hanya baik beberapa
saat.
“Lo tau obat alergi El yang
bahkan gue gak tau dan El gak ngasih tau. Lo tau makanan kesukaannya yang
bahkan El gak pernah bilang ke gue. Dan lo....,” Airin memandangku tajam,
“kenapa lo lebih tau banyak dari gue?”
“Mungkin gue calon reporter,
yaa, reporter manis,” ucapku sembari melempar canda, “kenapa? Apa ada yang
salah?”
“Please, jauhi El. Jangan membayanginya bahkan saat lo gak disamping
dia,”
Aku mengangguk walaupun aku
tak mengerti maksud perkataannya. Aku tak pernah membayangi El bahkan aku
menghindari dan menjauhi El. Apa lagi yang salah?
“Kejutan,” Maura tiba-tiba
masuk begitu saja dengan membawa banyak balon diikuti Kevin dibelakangnya,
“Airin?” ia terkejut melihat Airin, Airin tersenyum menyapa, “baiklah, lupakan,
pegang ini,” Maura memintaku memegang puluhan balon.
Kevin berjalan mendekatiku. Ia
tersenyum membawa beberapa tangkai bunga di tangannya. Satu per satu, ia membuang
bunga itu. Dan terakhir, tersisa satu mawar putih yang ia berikan padaku. Aku
tersenyum, “ini dimulai dengan baik selama satu bulan,” kemudian, aku
memeluknya.
“Kalian pacaran?” tanya Airin,
aku diam, sedangkan Kevin langsung mengiyakannya padahal kami belum pacaran.
Kevin hanya membantuku untuk melupakan El selama satu bulan ini dan itu cukup
berhasil, “maaf, gue ganggu acara kalian,” Airin pun pamitan pulang.
**
Tangan Kevin membersihkan sisa
ice cream yang ada dibibirku. Ia
bahkan menyuapiku walaupun aku menolaknya. Dan saat seperti ini, aku teringat
El dimana kami pernah makan ice cream
bersama. Yang membedakan, saat itu El hanya terus makan saja sampai habis tanpa
bicara apapun.
“Aku-kamu. Sejak pertama kali
kita kenal, kita menggunakan bahasa cantik itu seolah kita pacaran,”
“Itu karena, sudahlah, jangan
mengingatkanku lagi,” pintaku, “diam saja, diam,”
Kevin mengusap kepalaku
lembut, “berapa banyak kamu akan membayarku agar aku diam?”
Aku langsung menutup mulutnya
dengan memberikan ice cream banyak
dimulutnya. Ia pun diam tapi tetap tersenyum padaku, senyum manis. Benar-benar
senyum manis. Entahlah, ini rumit dijelaskan tapi aku suka senyumnya seperti
ini.
**
“Lo mulai suka sama Kevin? Iya
kan? Iya kan iya?” Maura memojokkanku, “udah gue bilang perasaan lo ke El itu
Cuma rasa kasian aja karena gak ada yang merhatiin dia. Dan kalau Kevin, itu
baru bener-bener yang bener,” ucapnya berputar-putar, “terus kapan kalian
jadian?”
“Kevin aja gak nembak,”
“Jadi, lo berharap?” Maura
terkejut, bukan seperti itu maksudku tapi jujur, ada perasaan aneh ketika aku
disamping Kevin bahkan detak jantungku terasa aneh untuk pertamakalinya. Ah!
Ini benar-benar rumit.
Maura langsung merapikan
rambutku ketika ia tahu kalau nanti malam aku dan Kevin akan pergi. Sebenarnya,
ini bukan kencan atau semacamnya tapi ini sebagai tugas sekolah. Kami harus
mencari informasi mengenai kegiatan anak-anak jalanan ketika malam hari.
“Tetap saja harus cantik,” ia
juga memilihkan pakaian yang manis namun tidak terlalu terbuka karena jalanan
dimalam hari bisa menyeramkan, “gue dukung kalian jadian pokoknya,”
**
El menemuiku di ruang seni
sekolah ketika aku berlatih untuk perlombaan. Ia menanyakan sejak kapan aku
suka menyanyi dan sejak kapan aku ingin mengikuti perlombaan ini. Tentu saja,
aku menjawab semuanya dengan jujur.
“Gue baru tau itu,
denger-denger, lomba ini bisa duet kan? Apa lo sama Kevin?”
“Anak-anak bilang suara Kevin
luar biasa cuma terlalu sempurna banget kan kalau ada gue eh ada Kevin,
pasangan lain bisa iri, ya kan? Disekolah ini aja banyak yang iri kok,” ucapku
pede, “tapi, ide lo bagus juga,”
Tangan El mengambil sesuatu
dari saku pakaiannya. Ia meminum obat alergi, aku tersenyum, “belakangan gue
terpaksa bawa obat sendiri semenjak gak ada lo,” terangnya, aku tak tahu harus
mengatakan apa, “ada yang terasa menghilang,”
Tiba-tiba Kevin masuk ke ruang
seni, ia terkejut mendapatiku bersama El. Kemudian, Kevin duduk disamping El
menanyakan keberadaannya diruang seni yang tak seperti biasanya.
“Soal basket, maaf, itu
keputusan pelatih,” ucap Kevin bijak, “mungkin itu keputusan yang terbaik untuk
tim basket sekolah.”
“Apa kalian bermusuhan setelah
salah satu dikeluarkan? Tentu saja itu sulit tapi bisakah jangan menggangguku
latihan?” pintaku, Kevin tak menggubris, “hei, kamu mau kugantung?”
“Kalian terlihat sangat
cocok,” kemudian El pergi setelah mengatakannya.
**
Mataku terbelalak ketika
melihat berkas pendaftaran kalau aku akan berduet dengan Kevin sedangkan
setahuku, aku melakukan ini seorang diri. Saat seperti ini, Kevin justru
tersenyum-senyum sendiri padahal tinggal 15 menit lagi kami tampil.
“Kalau salah satu gak ada
dianggap gugur, kita lakukan saja,”
“Apa?!” aku langsung menginjak
kakinya, “bagaimana bisa? Kamu mau mati?” aku memandangnya kesal tapi ia
langsung mencubit pipiku dan tersenyum. Hal itu membuatku luluh, “baiklah, apa
yang harus kita nyanyikan?”
Kevin mengingatkanku bahwa
sebelumnya aku pernah membuat lagu bersamanya. Aku ingat itu tapi, lagu itu sedikit
tak kusukai, “kenapa? Apa kamu gak suka karena kamu menyukaiku?”
JLEB! Aku terpaksa mengiyakan
hal itu daripada ia panjang lebar bertanya.
**
Maura memelukku setelah aku
turun dari panggung, “lagu tadi itu, kalian berdua,” ia langsung melirik Kevin,
“coba Rama gitu juga ya dulu,” Rama langsung membuang muka, “kalian pasti
menang,” ia ingin memeluk Kevin tapi Rama melarangnya dan entahlah, aku juga
tak suka ia melakukan itu.
Dan tarrrra, ketika
pengumuman, baikalah kami memang tak mendapat juara pertama tapi kami mendapat
juara Favorite dari penonton. Mau tak mau, kami naik keatas panggung.
“Apa kamu ingin menjawabnya?”
Kevin memandangku, “lagu itu untukmu, kenapa kamu gak mengerti juga sejak
lama?”
Aku tersenyum malu. Penonton
menyoraki kami, “kamu menolakku?” tanyanya, aku menggeleng. Ia tak banyak
bicara lagi dan langsung mencium keningku.
**
Aku masuk ke kelas saat mata
pelajarab wajib, El berdiri didepan kelas. Ia langsung menarikku, “jadi sebelum
itu kalian belum jadian?” tanyanya, aku mengangguk, “kenapa Kevin bilang lo
pacarnya? Kenapa lo juga gak nyangkal?”
“Memang ada yang salah ya?”
tanyaku padahal jujur, aku tahu maksudnya.
Lagu yang semalam itu
merupakan pengungkapan hati Kevin. Namun bukan itu saja, didalamnya terlihat
jelas kalau sebelumnya Kevin tahu aku menyukai orang lain. Dan, itu El.
“Kenapa lo gak bilang dari
dulu? Kenapa?” El memegang tanganku erat. Ia menatap mataku lekat dan tak
melepaskannya, “seharusnya, hari itu, lo gak buat gue deket sama Airin,”
“Lepas!” Kevin langsung melepaskan
tangan El dariku, dan BUKKK! Ia memukul wajah El tanpa basa-basi, “jangan
menyentuhnya atau...,” aku menarik tangan Kevin, “kamu baik-baik aja kan?” aku
mengangguk.
**
Airin menemuiku. Ia terlihat
sedih ketika didepan mataku, “apa lo ribut sama El?” ia menggeleng, “kenapa?”
“El, sejak awal sayang sama
lo. Dia jadiin gue pelarian aja saat lo bilang suka sama Kevin. Dan, lo ngalah
buat gue kan?” Airin menangis, aku tak tahu harus berkata apa, “gue seolah
pengganggu diantara kalian. Kalau gue gak bilang suka sama El, kalian berdua
pasti udah...” aku memintanya berhenti bicara.
“Jangan katakan lagi, gue
takut goyah. Gimana-gimana, Kevin udah disisi gue. Dan bagi gue, Kevin yang
terbaik. Maaf, jangan katakan hal apapun lagi,”
Aku meninggalkannya namun
ketika aku melangkah, El sudah ada disana. Tiba-tiba ia memelukku dan Airin
melihat itu semua. Aku menjadi serba salah. Tepat saat itu Maura dan Rama
melihatnya. Mereka pun tak bisa berbuat banyak.
“Lepas!” pintaku, El tak
melepasnya, “kenapa El? Kenapa? Ada apa ini?”
“Gue terlambat, itu aja,
maaf,” kemudian ia melepaskan pelukannya. Aku mengerti perasaannya tapi jujur,
walaupun masih ada sedikit rasa sayangku padanya namun hatiku sudah menuliskan
nama Kevin. Dan aku tak ingin lebih menyakiti Airin.
Maura tersenyum melihat itu
begitupun Rama. Sedangkan aku, entahlah, aku merasa ini keputusan tepat tapi
apakah El akan baik-baik saja?
“Kevin dateng,” Maura
berbisik, aku pun langsung berlari kecil-kecil menghampiri Kevin. Aku mengambil
coklat ditangannya yang pasti untukku.
“Aku melihat El barusan, dia
sedikit aneh,” Kevin melihat wajahku, “aku mengerti, tapi dalam hal ini, Airin
yang sangat terluka,”
“Apa kamu ingin menenangkan
Airin? Seperti itu? Lakukan saja,” aku meninggalkannya tapi ia langsung
mengejar dan menggandeng tanganku.
**
El berjalan seorang diri di
koridor sekolah, aku ingin menghampirinya tapi tiba-tiba Maura muncul dan
menggelengkan kepalanya.
Aku benar-benar tak mengerti,
disisi El ada Airin yang jelas mencintainya tapi ia seolah tak memiliki itu.
Dan disamping El, ia masih memiliki teman tapi ia menjauh sejak ia dikeluarkan
dari tim basket sekolah secara tidak hormat.
“Jangan bilang lo masih ada
rasa sama El?” Maura melotot tajam, “itu akan sangat kejam bagi Kevin,”
terlihat sekali jika Maura tak suka dengan pikiranku tapi jujur, rasanya Maura
benar jika aku belum bisa sepenuhnya melupakan El.
“Gue munafik kalau gak ngakuin
itu tapi, entahlah, ini rumit,” ucapku lirih, “rasanya menyakitkan melihat El
seperti itu,”
“Apa seperti itu?” tiba-tiba
seseorang menepuk pundakku dari belakang, Kevin, “aku akan menjadi orang kejam
kali ini,” Kevin menarik tanganku. Aku tak tahu ia akan membawaku kemana.
Dan, ia membawaku ke ruang
redaksi. Ia memperlihatkan semua berita yang tidak jadi diterbitkan dan itu
semua tentang El. Aku diam. Aku tahu itu. Ada apa dengan Kevin memperlihatkan
semua itu?
“Berhentilah atau aku akan
menggantungmu,” ancamnya kemudian mengusap kepalaku, “perlahan, kamu akan
melupakannya,” ia tersenyum. Mungkin Kevin sedikit kejam tapi akan lebih kejam
jika aku berlari pada El.
“Akan sulit mendapatkan maaf
dari kamu kalau aku pergi, benar kan?”
Kevin tak menjawab, ia hanya
tersenyum kecil.
Kami tak tahu apa yang akan
terjadi besok atau satu detik setelah ini tapi aku tak ingin setelah ini
membuat keputusan salah dan membuat diriku dalam posisi harus meminta maaf.
Maaf,
TAMAT