Good Bye
Kata orang,
persegi itu bukan lingkaran. Kata buku yang kubaca juga, persegi itu bukan
lingkaran. Ini aneh, di dalam kepalaku, aku melihat persegi berubah menjadi
lingkaran. Bukan satu dua kali aku melihat gambaran itu tapi, lebih dari jutaan
kali.
“Ayolah! Kakimu
mengeluarkan banyak cairan!” Wiliam membantuku berdiri, “kau bisa kehabisan
darah Jane, ayolah, ikuti kataku!” suaranya meninggi, “kau harus ikut
denganku!”
Aku diam. Aku
memandangnya. “tadi kudengar, kau bicara darah? Darah apa yang kau maksud?”
tanyaku, Wiliam tidak bisa menjawabnya, “biarkan saja cairan yang kau sebut
darah ini terus keluar dan orang-orang akan memperhatikan kita. Mereka akan
membawaku kerumah sakit!”
“Jane, kau harus
segera menemui prof Roulf atau
semuanya akan berakhir,”
Aku tidak tahu apa
yang di maksud akhir oleh Wiliam. Jika yang dimaksudnya adalah akhir hidupku,
aku ingin bertanya apakah aku hidup? Atau jika yang dimaksudnya akhir adalah
kebebesan, apakah itu akan benar-benar terjadi.
“Aku harus
membawamu!” Wiliam memaksa dan membawa tubuhku yang lemah entah kemana.
Saat Wiliam
membawaku, di perjalanan yang entah kemana, aku melihat sebuah segitiga di
dalam lingkaran dengan cahaya menusuk. Aku tidak tahu itu apa tapi, aku yakin
itu bermakna bagi hidupku. Hidupku, di luar ini, di luar tempat ini.
**
“Apa yang kau
lakukan!” Prof Roulf memarahiku. Ia
tampak marah dan kecewa padaku, “kau ingin bunuh diri dengan cara seperti
itu?!”
Ya, aku mencoba
bunuh diri. Di tengah jalanan yang ramai, aku berdiri menunggu sebuah mobil
menabrakku dan akhirnya aku tertabrak tapi,
Wiliam mengetahuinya. Ia membawaku kesini, ke tempat yang menjadi titik
hidupku.
“Aku melihat
persegi itu, lingkaran itu, cahaya itu bahkan hal-hal aneh itu. Mereka semua
bertebaran di kepalaku, aku tidak sanggup!”
“Kau ingin mati?!
Hah! Kalau kau ingin mati, matilah sekarang!” Prof Roulf melemparkan sebuah pistol padaku, “tembaklah tepat di
kepalamu maka semua selesai,” lalu kemudian prof
Roulf tertunduk, terlihat lelah.
Wiliam membantu Prof Roulf berdiri. Kemudian, beberapa
orang sejenis Prof Roulf masuk dan
terlihat kekhawatiran mereka.
Aku di bawa. Di
bawa oleh Wiliam dan seorang yang menyeramkan ke sebuah ruangan. Kakiku sudah
sembuh oleh obat yang tidak kutahu jenisnya.
“Tinggalkan kami berdua,”
pinta Wiliam pada orang seram itu, “Jane akan baik-baik saja bersamaku,”
Aku duduk di
sebuah kursi yang sangat dingin, di dalam ruangan yang sunyi.
Wiliam duduk di
hadapanku, “jika kau mau mati, silahkan tapi, semua orang disini terlah
mempertaruhkan hidup mereka untukmu, termasuk aku, kau harus sadar itu,”
“Ya, aku tahu, aku
adalah penelitian mereka, begitu bukan? Dan kau, kau di tugaskan agar aku tidak
mencoba mencari mati bukan?”
Kakiku setengah
gemetar. Bukan aku takut tapi, rasanya ada yang menggerakkan kakiku dengan
sendirinya.
“Di dalam
kepalaku, ada yang kusembunyikan, tentang persegi itu, tentang lingkaran itu,
dan tentang cahaya yang tergambar jelas,” aku berdiri, menundukkan kepalaku, “ini
sia-sia, semua akan sia-sia, aku akan kembali, kembali setelah dua abad aku
disini,” lajutku, “lingkaran itu memanggilku lagi, dan lagi,”
Wiliam menarik
tanganku, memintaku duduk kembali, “maksudmu, kau bisa kembali?” tanyanya, aku
mengangguk, “bukankah kau bilang jika kau tidak akan bisa kembali lagi?”
“Aku berbohong,
aku bisa kembali dengan mudah tapi, aku menghindar. Sekarang, aku tidak bisa
menghindar lagi, mereka akan datang, menjemputku, menyelesaikan semuanya,”
“Dan apa yang akan
terjadi disini?” Wiliam terlihat mulai kacau, “mereka meminta perang? Hah?!”
Aku tersenyum,
“ikutlah bersamaku, kau akan aman” mataku memasuki matanya, “kau tahu satu hal
yang membuatku ingin disini? Ya, itu dirimua,” jelasku, jujur, “tapi, aku harus
pergi, aku tidak bisa mati. Kalian membuatku tidak bisa mati, jadi aku harus
kembali, dan untuk planet ini, aku sangat berterimakasih.” Tiba-tiba kepaalaku
terasa sakit lagi, dan lagi, “aku akan berusaha meyakinka planetku, semua masih
baik-baik saja, keadaan ini baik-baik saja, tentu, ya, tentu,” aku melangkah,
meninggalkan ruangan itu.
Wiliam mengejarku.
Para penjaga hanya memelototiku meninggalkan ruangan itu. Prof Roulf memandangi kepergianku tanpa melarangku atau
menghentikan.
“Jane!” Wiliam
menarikku, “jangan pergi, kumohon, aku membutuhkanmu, tanpamu, semua akan
aneh,”
“Kau pernah
mendengar sebuah planet yang bernama Bumi?” Wiliam menggeleng, “aku pernah
mendengarnya. Planet itu sangat jauh, kehidupan planet itu sama dengan
kehidupan disini atau di planetku tapi, mereka tenang, damai, tanpa tahu ada
kehidupan lain selain di panet mereka, bumi,”
“Lalu?”
“Anggaplah kau
mahluk bumi, tidak tahu tentangku, dan tidak tahu tentang planetku. Jika perang
terjadi, anggap saja itu hanya mimpi burukmu, usai,”
Aku keluar,
meninggalkan tempat ini. Di atas kepalaku, nyata ada sebuah persegi berubah
menjadi lingkaran. Di tengahnya, cahaya putih terbentuk indah, memberikan jalan
untukku masuk.
“Selamat datang
kembali, ke duniamu,”
Aku melihat dari
kejauhaan, Wiliam melambaikan tangannya.
Kemudian, aku
sudah kembali ke tempat yang telah kutinggalkan selama 2 abad ini. Disini
berbeda dengan disana. Wiliam dan yang lainnya, mereka manusia, seperti mahluk
bumi, mereka benci perang walaupun keseharian mereka penuh perang.
Aku, aku tentu
berbeda dengan Wiliam. Walaupun secara kasat mata kami sama, tapi kami tetap
berbeda. Cairan tubuhkua yang di anggapnya darah, itu bukan darah. Wiliam bodoh
sekali.
“Mereka cukup baik
menjagamu, Jane,” Antarez berdiri di sampingku, memandangi debu-debu yang
menari, “kau masih hidup, kami kira, mereka membuatmu sebagai tawanan perang,”
“Entahlah, aku
tidak mengerti, ini sulit bagiku,”
Antarez memberikan
segelas minuman padaku, “kau tahu apa alasan planet ini mengurungkan niat?” aku
mengangguk, “ya, karena kami pikir, setelah kau tersesat disana, mereka
menjadikanmu tawanan tapi, tubuhmu abaik-baik saja,”
“Ya tentu, tapi
tidak dengan hatiku,” aku membalikkan badanku, melangkah meninggalkan Antarez,
“aku ingin istirahat, sejenak saja,”
**
Aku merindukanmu. Merindukan saat kau
bertanya apa isi cairan tubuhku. Saat kau ingin tahu mengapa cairan di tubuhku
namanya bukan darah. Saat kau bertanya-tanya mengapa mataku berubah warna di
saat aku marah, di saat aku sedih, dan di saat aku bahagia. Aku rindu saat kau
terus penasaran tentangku.
“Jane,” seseorang
masuk ke kamarku, “perjalananmu cukup jauh tapi, seharusnya kau sudah baikan.
Ini sudah sebulan lebih kau terlihat lemas,”
“Entahlah, aku
hanya merindukan hal yang tidak boleh kurindukan. Oh ya, bagaimana dengan
perang itu? Apa ayah akan ikut dalam perang? Apakah ayah harus melakukannya?”
“Demi planet ini,
demi menjaga raja kita, kita tidak boleh menghindar atau itu sama hal nya
dengan penghianatan, kau akan mati jika salah melangkah,”
Apa yang kau lakukan disana? Apakah kau
sedang di marahi Prof Roulf karena membiarkanku pergi? Atau kau sedang beradu
pendapat dengan Prof Roulf karena perang akan terjadi? Atau kau akan
bertanya-tanya apakah aku akan menjadi gadis aneh dan lebih aneh lagi setelah
kembali ke planetku.
“Ayah, boleh aku bicara satu hal?” ayah
mengangguk, “mengapa cairan di tubuhku, di tubuh ayah, dan di tubuh semua yang
ada di planet ini berbeda dengan planet lain?”
“Jangan menanyakan
itu lagi, kunci mulutmu!” Ayah keluar dari kamarku, ia marah.
Aku tahu,
menanyakan tentang cairan di tubuhku sama hal nya dengan penghianatan. Ayah
pasti tidak ingin aku di hukum. Ayah memintaku diam. Membisu. Seolah tak pernah
bertanya.
Semakin hari,
semakin kacau. Aku melihat di luar sana prajurit sedang menyusun strategi.
Membuat kepalaku semakin sakit.
Persegi lingkaran
itu tidak pernah muncul lagi karena aku sudah kembali tapi, mengapa sekarang
aku melihat lingkaran berlukiskan wajah Wiliam? Mengapa?
“Jane, ayo
keluar,” Antarez memintaku keluar, “apa yang ada di pikiranmu, kuharap tidak
akan di ketahui banyak orang, itu membahayakan hidupmu,”
“Ya, aku tahu, aku
lebih tahu dari siapapun kalau pada akhirnya, pikiranku akan mati,”
**
Aku menolak.
Menolak dengan keras kalau aku harus kembali ke planet itu untuk mencari
informasi kelemahan mereka. Aku menolak. Aku tidak ingin Wiliam mati.
“Jane!” Ayah
hampir menghunuskan pedangnya padaku sebelum Panglima Perang menghentikannya,
“kau!”
“Ayah! Sebelumnya,
aku tersesat disana karena Ayah meninggalkanku! Ayah menyelamatkan diri ayah
dari perang yang tidak ada akhirnya! Aku disana bukan sabagai prajurit yang di
kirim dari planet kita! Aku hanya gadis yang tersesat dan di tinggalkan!”
suaraku meninggi, “dan ayah tahu, aku tidak pernah menjadi tawanan disana.
Mereka merawatku. Mereka menjagaku. Mereka tidak pernah menyakitiku sedikitpun.
Mereka ingin aku hidup. Itu saja. Bahkan, mereka tidak pernah menginginkan
perang. Apakah kita harus menyerang?”
“Kau!” ayah marah
lagi.
“Hentikan! Putrimu
itu hanya remaja biasa, gadis kecil yang baru tumbuh menjadi remaja. Dia
seorang wanita dan dia bukan prajurit perang, tidak seharusnya kau mengirimnya
sebagai mata-mata. Bahkan Raja pun tidak akan setuju,” Antarez mencoba membuat
amarah ayah reda, “Jane, pulanglah ke rumahmu, kau hanya gadis kecil, kau tidak
tahu apa-apa, pulanglah dan beristirahatlah,”
Aku pulang. Di
rumah, semuanya sepi. Tidak ada yang menarik. Aku merindukan Wiliam. Aku
merindukan senyumnya, candanya, sapaannya, dan cerita-cerita darinya tentang
masa kecilnya.
Wiliam, planetmu tidak seperti disini.
Disini, semua menginginkan planetmu jatuh. Dendam yang sekian juta tahun masih
menjadi dasar perang ini tapi, aku tidak pernah setuju. Planetmu, kalian tidak
pernah menyerang. Kalian hanya mempertahankan dan kalian tidak pernah kalah.
Tapi, kali ini, aku takut, perang sebenarnya akan terjadi. Perang sampai titik
penghabisan. Dan aku, aku takut jika kamu hilang selamanya. Aku juga takut jika
Prof Roulf yang menjagaku menutup waktu.
Aku hanya gadis
kecil yang baru tumbuh menjadi remaja. Aku tidak terlalu banyak tahu tentang
perang apalagi aku wanita tapi, sepertinya bagi orang dewasa, perang artinya
kebahagiaan yang abadi.
**
“Jane,” Antarez
masuk ke kamarku diam-diam, “pergilah,” lanjutnya, “gunakan pesawat ini,”
“Kau mencurinya?
Ini milik kerajaan bukan? Jika ada prajurit yang tahu kau mencurinya, kau akan
mati, ayolah,”
Antarez memelukku,
“aku pamanmu dan aku ingin gadis kecil ini tersenyum tanpa melihat perang lagi,
pergilah, aku yang bertanggung jawab,”
“Paman! Paman
hanya prajurit biasa dan hukuman bagi paman,....” aku menunduk, “aku... aku
takut jika paman....”
“Jika ayahmu tidak
mempedulikan nyawamu, tidak mempedulikan kebahagiaanmu, maka Pamanlah yang akan
mempedulikan itu semua,” jelas Antarez, ia memelukku, “pergilah, aku sudah
bicara dengan Wiliam, dia sudah menunggumu di pesawat itu,”
“Pergi kemana?
Lalu perang ini?”
“Pergilah ke Bumi,
planet yang damai tanpa peperangan seperti ini. Kau akan belajar banyak
disana,” Antarez mendorongku menjauh darinya, “pergilah dan berjanji jangan
kembali apapun yang terjadi atau arwahku akan menghantuimu sampai ke neraka,”
Aku berlari ke
pesawat yang di curi Antarez. Wiliam di dalam. Ia tersenyum. Ia memelukku erat
dan langsung membawaku pergi.
“Apa yang akan
terjadi?”
“Kau percaya
ramalan?” tanya Wiliam, aku menggeleng, “aku juga tidak tapi, anggap saja kita
percaya,” lanjutnya, “menurut ramalan, planetku dan planetmu, keduanya lenyap
dari peradaban sekitar 5 hari lagi, perang itu benar-benar penghabisan,”
Aku
menitikkan air mata. Wiliam menghapusnya
lalu tersenyum, “aku sangat bersalah pada pamanku, Antarez tapi, aku sudah
berjanji,”
“Prof Roulf pun memintaku berjanji untuk
tidak kembali. Aku disini, menjagamu, jauh dari peperangan, dan kita selamanya,
bersama,”
Aku tersenyum.
Mencoba melupakan perang itu. Mencoba membulatkan tekadku untuk memenuhi
permintaan Antarez. Berjanji untuk tidak akan kembali.
“Sepertinya bumi
adalah planet yang sangat indah walaupun aku sedikit aneh mendengarnya,”
“Aku sering
mendengarnya dari Antarez dan itu benar-benar planet yang damai,” kami saling
memandang, melupakan hal-hal buruk yang harus kami tinggalkan.
Barang siapa copast tanpa izin gue atau copast tanpa nyebutin ini dari blog gue yaa gue doa'in aja kalo jomblo jadi jomblo seumur idup, gak pernah dapet jodoh. Yang gak jomblo tiba-tiba pisah sama pacar/apalah ^_^
follow My Twitter @Aulanurul