Senin, 29 Februari 2016

Hantu di Bawah Hujan - CERPEN oleh Aula Nurul M

Hantu di Bawah Hujan
Tubuh Azka tersungkur di atas pasir. Pakaiannya sudah kotor bercampur basah hujan, “a...apa yang barusan terjadi?” ia memandangku, tak ada jawaban yang bisa kuberikan padanya, “oke, oke,” kakinya pun langsung tancap gas, pergi dari pandanganku.
Aku tak mungkin memberikan jawaban pada Azka kalau ada hantu yang baru saja menghajarnya. Ia bisa-bisa menganggapku gila atau dia sendiri yang merasa gila. Aku tak dapat mengatakan itu.
“Pergi!” hantu itu menatapku tajam, matanya mulai memerah tapi aku sama sekali tak takut. Sekalipun ia hantu terseram dibumi ini, aku tak akan takut karena ia telah mengganggu kencanku! “cepat pergi atau kucekik!” ancamku.
Hantu itu terkekeh. Tentu saja, kalau aku mencekiknya tak akan ada pengaruh toh ia sudah mati. Untuk apa aku mencoba membunuh seseorang yang telah mati?
‘baiklah, fokuskan pikirkan!’ aku memandang fokus ke depan, melihat hantu itu tajam kemudian mencoba tersenyum. Kakiku melangkah lurus mendekatinya namun, aku tak menghampirinya, aku lewat dan menembus tubuhnya begitu saja, ‘kenapa harus hujan!’
Rambutku, maksudku seluruh tubuhku sudah hujan. Namun itu tak penting. Yang membuatku tak suka adalah hujan ini, hujan membuatku dapat melihat semua hantu. Ini menyebalkan.
“Tunggu aku!” hantu itu mengejarku, wajahnya tak terlalu jelek walaupun sedikit menyeramkan. Ia mirip dengan tokoh vampire difilm-film dengan bibirnya berlumuran darah, “boleh aku ikut denganmu, aku tak dapat berbicara dengan seorang manusia pun,” tak kuhiraukan celotehnya. Kakiku terus melangkah pulang.
“Lihat! Lihat! Itu ada hantu korban pembunuhan!” hantu itu mendekatiku, ia terlihat takut, “bolehkah aku ikut denganmu? Banyak hantu menyeramkan disetiap tempat,”
Bodoh! Mana ada hantu takut pada hantu. Seharusnya ia bercermin jika wajahnya pun menyeramkan. Apakah ia mati bunuh diri di tengah jalan raya sehingga banyak darah keluar dari mulutnya?
“Hei! Bicara padaku! Bicara!” ia terus menempel, “aku memukul temanmu karena ia berniat jahat padamu. Aku bersumpah!”
Aku percaya ia tak berbohong namun setidaknya aku bisa menyelesaikan itu sendiri tanpa bantuan hantu. Rasanya memalukan saat hantu menolongku walaupun kadang itu cukup baik. Harga diriku seolah jatuh.
“Aku selalu bersembunyi terutama diatas pohon itu,” ia menunjuk sebuah pohon besar dengan dedaunan yang cukup lebat, “aku keluar dari pohon itu karenamu. Satu-satunya manusia yang bisa melihatku.”
“Ikuti aku,” aku mengajaknya ke suatu tempat namun sebelum itu, aku menutup mata dan telinganya. Kelebihanku, aku dapat menyentuh hantu jika aku ingin tapi kalau tidak, aku bisa menembus mereka seperti angin, “jangan banyak bertanya.”
Bulu kudukku sedikit merinding ketika memasuki sebuah bangunan tua. Kalau aku tidak salah, bangunan ini merupakan rumah sakit yang tutup karena kebakaran. Hujan semakin lebat sehingga kurasa, aku akan lebih lama melihat hantu-hantu itu berkeliaran. Yah, seandainya saja, aku tak melihat mereka, kurasa hidupku lebih damai.
Sebelumnya, aku pernah membawa hantu wanita tua yang ke tempat ini karena ia terus menempel padaku. Awalnya ia menolak namun, ia senang mendapatkan beberapa teman ditempat ini. Sedikit aneh namun hantu juga memiliki teman sesama hantu bahkan banyak yang memiliki kelompok tertentu.
“Aleya,” seorang hantu tampan berbisik padaku. Ia meninggal dirumah sakit ini setelah operasinya gagal, “siapa dia? Apa dia akan kamu tempatkan disini? Sepertinya ia cukup tampan, aku bisa kalah saing.” Keluhnya, aku tersenyum, “sesekali, bawalah hantu gadis cantik kalau bisa secantik dirimu.”
“Aku akan membawanya ke belakang rumah sakit. Hantu satu ini harus diospek oleh hantu-hantu kejam disana,” jelasku dengan tawa kecil yang sepertinya tak mendapat persetujuan darinya, “terserah, jangan ganggu aku.”
Aku membawa hantu yang namanya, entahlah, aku lupa menanyakan namanya. Ia harus bertemu pada hantu terkejam di tempat ini. Maksudku bukan kejam pada manusia tapi hantu-hantu itu terkenal kejam sesama hantu.
Kubuka penutup mata dan telinganya, para hantu kejam masih tak terlihat, “siapa nama kamu?” tanyaku, ia mengatakan jika namanya Venus. Ah, seharusnya kukirim dia ke planet Venus karena ia hantu pertama yang mengganggu kencanku, “baiklah, namaku Aleya, beberapa hantu disini mengenalku.”
Kutinggalkan Venus seorang diri disini. Aku ingin ia tinggal disini karena kupikir hantu disini ramah-ramah kecuali hantu dibelakang rumah sakit. Anggap saja ia mengikuti masa orientasi.
Namun, baru beberapa langkah kakiku hampir meninggalkan tempat ini, ia sudah berteriak. Teriakannya terdengar bukan seperti teriakan dikerjai namun seperti ketakutan bahkan, Vanus berteriak jika ada hantu.
“Hei! Mengapa kamu membawanya ke tempat ini!” seorang wanita muda mengomeliku, “bawa ia pergi dari sini!” aku bengong, “ia tak boleh tinggal disini!” hah? Aku tambah tak percaya. Sejak kapan ada yang melarang hantu lain untuk tinggal disini? Apakah hantu wanita muda satu ini sedikit terganggu otaknya, “bawa ia pergi. Ia sangat ketakutan.”
Aku mencoba menghiraukan wanita ini namun suara Venus mengusik telingatku. ‘hujan, berhentilah. Kumohon. Hantu-hantu itu menganggu waktuku!’ aku memohon agar hujan terhenti beberapa saat saja.
“Bawa dia! Bawa!”
Aku kembali ke belakang rumah sakit. Kulihat Venus meringkuk dengan mencium lututnya sendiri.
“Kami tidak pernah pergi dari tempat ini tapi apakah kondisi diuar seburuk ini? Bagaimana hantu bisa ketakutan dengan hantu?” aku mengintip perbincangan para hantu kejam, “apa kalian berpikir seperti itu?”
Teman-temannya yang lain saling memandang. Mereka tampak bingung dengan ketakutannya Venus padahal niat mereka hanya akan mengerjai Venus sebagai penghuni baru bukan membuatnya ketakutan seperti manusia.
“Sebentar, apakah anak ini hantu? Benar-benar hantu?” salah seorang hantu kejam lainnya menjadi kesal sendiri, “Aleya! Jangan bersembunyi!” aku keluar dari tempat persembunyianku, “bawa anak ini pergi! Kami tidak bisa menyuruh-nyuruhnya,” aku menunduk merasa bersalah, “sepertinya ada yang aneh dengan teman hantumu yang baru ini.”
Venus benar-benar terlihat takut padahal kupikir ia hanya main-main jika takut dengan hantu lain. Apakah ia baru saja meninggal jadi sedikit sulit beradaptasi? Namun, wajahnya terlihat seseorang yang sudah beberapa bulan meninggal.
Kuajak Venus pergi dari tempat ini. Para hantu kejam itu tertawa melihat kepergian Venus yang mereka anggap hantu gila. Namun berbeda dengan hantu dilorong rumah sakit yang mengatakan Venus memang tak seharusnya berada ditempat ini bahkan ada yang memarahiku jika aku gadis kejam.
“Terimakasih,” Venus berusaha memelukku namun aku sedang tak ingin disentuh hantu jadi ia langsung menembus tubuhku, “beberapa hantu dilorong dan di ruangan dokter terlihat baik tapi aku tetap takut.”
Untuk hari ini, aku akan membawa Venus kerumahku sebelum mencarikan tempat baru untuknya. Atau, aku akan mengajarinya tentang dunia hantu agar ia bisa mencari tempat tinggal sendiri.
“Pertamakalinya rumahku dihuni hantu. Sebelumnya, hantu-hantu itu hanya akan datang sesaat sebelum aku mengusir mereka.”
“Aku mendengar seorang hantu mengatakan jika kamu dapat melihat hantu saat hujan turun,”
Aku tak menanggapi ucapannya. Sejujurnya, saat tak hujan pun aku bisa melihat hantu tapi aku bisa tidak melihat hantu jika aku menginginkannya. Berbeda saat hujan turun, aku akan melihat para hantu selama hujan terus turun bahkan saat aku menolaknya.
**
Teman-temanku penasaran dengan perkembangan hubunganku dengan Azka. Sedang aku, entahlah, terakhir kalinya pergi dengan Azka, ia kebingungan karena merasa dipukul angin.
“Jangan bilang karena belum move on dari masa lalu?”
Senyumkumengembang. Aku tak dapat mengelak itu semua. Sekalipun semua itu sudah 2 tahun berlalu tapi ada yang terasa janggal. Sekalipun Azka adalah kakak tiri dari mantan pacarkua yang sudah tiada dan ia begitu baik, tapi hatiku benar-benar sulit terbuka untuk Azka. Ini jelas, hati manusia, siapa yang tahu? Kadang berubah tapi terkadang sedikit pun tak bisa berubah.
‘karena mungkin cinta membuatku hanya memikirkan satu nama’
Teman-temanku tak habis pikir. Kenapa bisa seperti ini padahal, sikap keseharianku menunjukkan ia sudah move on.
“Gue denger rumor, lo bisa liat hantu ya? Jangan bilang hantu mantan pacar lo sekarang ada disini. Sesuatu banget,”
Aku mengambil nafas lelah. Jika saja aku bisa melihatnya sekalipun ia menjadi hantu, itu baik. Sangat baik. Sayangnya, sampai pemakaman pun, aku tidak bisa melihat ruh atau hantunya. Mungkin, Tuhan telah memanggilnya sebelum aku datang saat detik-detik terakhir ia pergi.
“Eh, ada hantu yang cakep atau ganteng gak? Cantik gitu? Penasaran soalnya di film, hantu itu mengerikan.”
Tidak kurespon ucapan temanku satu ini. Cantik? Tampan? Wajah mereka begitu pucat. Tak hanya pucat tapi ada beberapa mengenaskan akibat kecelakaan.
**
Sudah berhari-hari Venus tinggal dirumahku. Dan selama itu juga hujan selalu turun di sore hari yang artinya, ia mengusikku di sore hari.
Aku tak tahu hantu macam apa Venus ini. Wajahnya pucatnya bahkan kuku tangannya menunjukkan jika ia sudah meninggal bukan seseorang yang koma dimana ruhnya jalan-jalan. Ia jelas hantu, hantu! Namun kenapa ia masih saja takut dengan hantu setelah berbulan-bulan ia meninggal?
“Aleya! Aleya!” Venus memanggilku. Aku mendengar itu namun aku tak boleh menyahut atau ia tahu kalau aku bisa melihat hantu saat tak hujan, “Aleya, leherku, leherku tercekik! Aku mau mati!”
Mati? Apa ia hantu gila? Atau ada seseorang yang melempatkan jimat padanya?
“Aleya!”
Suaranya membuatku mau tak mau keluar kamar. Aku menemukannya didapur dengan leher yang tercekik? Ada seutas tali aneh dilehernya.
“Aku. Aku bisa mati,” suaranya mulai lirih. Ia hantu jadi tak akan mati dua kali namun jika kubiarkan seperti itu, ia bisa tersiksa terus-menerus. Dan entahlah, aku merasa sedikit..., benar-benar ingin menolongnya dengan tulus.
Aku menengok kanan-kiri takut Mama atau Papa melihat tingkahku yang aneh karena bicara sendirian. Perlahan, aku menarik tangan Venus untuk kekamarku. Akan kubantu ia melepas tali itu.
Dan, tali itu benar-benar mudah dilepas namun..., sebentar, tali ini merupakan tali yang dilakukan orang lain. Jelas perbuatan manusia. Tapi siapa? Apakah manusia sepertiku yang bisa melihat hantu?
“Aku..., terimakasih,” Venus berusaha memelukku, aku tersenyum tak menolak pelukannya. Tanpa hujan bahkan tak dibawah hujan, aku membiarkan rahasiaku diketahui seorang hantu, “terimakasih,” pelukannya semakin erat, kurasakan jantungku terasa aneh walaupun sebelumnya sudah banyak hantu yang memelukku untuk berterimakasih, “kupikir, tali itu akan membunuhku,” aku tertawa, perlahan kulepaskan pelukannya namun kurasakan sesuatu yang bergerak aneh dalam dadanya, “jantungmu, jantungmu?”
Kakiku terasa lemas menyadari apa yang baru saja kutemukan. Venus membantuku untuk duduk dikursi, ia meminta maaf karena menyusahkanku. Ia benar-benar meminta maaf dan berterimakasih. Sedangkan aku, aku mengerti semuanya.
“Kamu tahu kapan kamu meninggal?” Venus mengatakan kalau ia tak punya ingatan apapun, “hei! Wajahmu itu menyeramkan! Penuh luka! Darah! Kamu kecelakaan? Atau kamu bunuh diri? Seharusnya kamu tahu alasanmu menjadi hantu! Sekalipun hilang ingatan, kamu harus memiliki alasan!”
Mata Venus berkedip-kedip. Ia mengangkat bahu. Menegaskan kalau dirinya memang benar-benar tak ingat apapun dan tak mengerti apapun.
Sedang aku, dengan jelas merasakan detak jantungnya. Tapi, ini bukan seperti detak jantung orang yang sedang koma atau orang yang sedang dalam perjalanan menuju alam baka. Ini aneh. Untuk pertamakalinya aku menemukan hantu hilang ingatan yang sama sekali tak meiliki alasan gentayangan. Atau, ia bukan hantu?
“Apa ada hantu sepertiku juga? Jelaskan!” Venus memohon. Aku mengatakan kalau beberapa ada hantu yang hilang ingatan. Mereka menjadi hantu karena ingin tahu siapa diri mereka, “tapi, aku nyaman mengetahui diriku seperti ini.”
“Tapi aku gak nyaman berbicara dengan hantu yang aneh sepertimu!”
**
Azka mengajakku makan malam bersama ibunya. Aku setuju toh ibunya baik dan aku sudah mengenal ibunya sejak aku berpacaran dengan Nathan. Sekalipun Mereka keluarga tiri Nathan tapi mereka begitu baik dan begitu perhatian padaku. Kini, sepertinya, ibunya senang jika aku lebih dekat dengan Azka.
“Jika saja kamu sebentar lagi selesai kuliah, mungkin pertunangan cocok untuk kalian,”
“Mama,” Azka menghentikan ibunya. Aku tersenyum. Tak ingin membuat wanita yang begitu baik padaku kecewa, “jangan bicarakan hal seperti ini sekarang.”
Mereka berdebat. Aku dapat melihat jika mereka saling menyayangi. Seandainya saja, seandainya saja Nathan menjadi hantu dan dapat melihat semua ini. Hanya saja, Nathan tidak menjadi hantu. Ia terlalu kejam karena tak meninggalkan pesan apapun untukku.
“Jadi kamu masih dengannya? Ckck,” Venus tiba-tiba muncul ditengah-tengah meja. Aku sedikit terkejut namun tetap berusaha terlihat normal agar Azka dan Ibunya tak curiga, “orang itu sepertinya kurang baik untuk kamu. Apa hanya dia pilihannya?” wajahnya terlihat mengejekku.
**
 “Sebentar...,” aku mengingat sesuatu, “ikut aku!”
Aku pergi ke gedung bekas rumah sakit tua namun Venus tak ingin masuk, ia takut, ia menunggu diluar. Kali ini, kuhargai ketakukannya.
Kukumpulkan semua hantu disana, aku ingin mendapatkan penjelasan apakah ada hantu yang sama sekali kehilangan seluruh ingatannya termasuk alasannya menjadi hantu atau ‘mungkin’ setengah hantu.
“Dia dipaksa hilang ingatan, terpaksa hilang ingatan, atau menginginkan hilang ingatan. Hanya 3 itu kemungkinannya,” hantu tua yang sudah meninggal puluhan tahun itu tertawa padaku, “apa ini mengenai anak muda penakut itu? Kami rasa, ia bukan hantu.”
“Lalu apa? Dia ruh?! Kalau dia ruh, wajahnya tak akan sepucat itu. Kukunya tak akan menyeramkan. Dan wajahnya tak akan berlumuran darah penuh luka.” Aku menguatkan pendapatku, “apa kalian masih berpikir ia bukan hantu?”
“Kamu juga hantu!” seorang wanita muda tiba-tiba muncul, “kalau hantu itu menyeramkan, maka kamu lebih dari hantu!” ia masih marah padaku karena beberapa bulan lalu aku mengusirnya dari rumahku dengan kejam, “monster,” senyum sinisnya dilemparkan padaku. Aku tak takut.
Setelah banyak hal yang diperdebatkan, aku keluar, menemui Venus yang mondar-mandir didepan gedung ini. Ia menanyakan apakah sudah ada jawabannya. Sayang, tidak ada jawaban.
“Itu karena kamu hilang ingatan,” aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, “jika kamu hilang ingatan keseluruhan, bisa jadi kamu belum meninggal tapi, ciri-ciri tubuh kamu itu hantu. Hantuuuu.”
Mata Venus berkaca-kaca. Memandangku tak percaya. Ia ingin tahu dimana tubuhnya jika ia belum meninggal. Sayangnya, aku juga tak tahu.
“Ayo. Kita renang. Aku pusing mendengar semua pendapat hantu-hantu didalam,”
Kuajak Venus ke sebuah pantai yang sepi. Disini, jika aku marah atau mengomelinya, tak akan ada yang memandang aneh padaku seolah aku bicara seorang diri. Ia menolak menyentuh pantai karena ia hanya akan mengambang diatas air.
Dengan tenang, aku membawanya ke bibir pantai. Kuraih tangannya. Jika ia menyentuhku, ia bisa merasakan air dengan nyata.
“Aleya! Rasanya dingin! Dingin!” wajahnya terlihat senang sekalipun penuh dengan darah dan luka, “apa kita bisa pergi lebih jauh lagi ke tengah?”
Langsung kuanggukkan kepalaku. Ia lebih senang lagi. Jarang-jarang ada hantu sepertinya atau ruh sepertinya. Tapi, jika ada banyak yang sepertinya, kepalaku bisa pusing. Mana ada hantu atau ruh yang takut pada hantu. Menggelikan!
**
Sudah setengah tahun Venus tinggal denganku sebagai hantu atau entahlah apa. Dan, aku tidak tahu kenapa aku merasa nyaman. Sekalipun ia hantu yang kepo, bodoh sebagai hantu,  menjengkelkan, dan suka mengganggu tapi entahlah, ada sesuatu yang berbeda.
“Aleya, ganti saluran televisinya,” omel Venus. Aku tepuk jidad dan melemparnya dengan remote control, “kamu pikir, aku bisa menggunakan benda ini?” ia menunjuk remote. Bibirku manyun tapi tetap kupilihkan channel yang menayangkan kartun anak-anak.
Entah bagaimana Venus sebelumnya hidup, ia benar-benar kekanakan. Yang paling membuatku lelah, ketika ia menanyakan kenapa setiap hantu memiliki kulit pucat. Argh!
“Kamu sedikitpun gak menyukai Azka. Kenapa masih dipaksakan?” tanya Venus, aku duduk disampingnya, “ini foto Nathan, kan? Seperti apa Nathan? Apakah mirip dengan Azka. Kupikir, kamu belum melupakan Nathan. Fotonya masih berkeliaran dikamarmu.”
“Yang jelas, Nathan gak kekanakan, banyak tanya, menyebalkan seperti kamu,” jelasku. Venus membela diri kalau ia banyak tanya karena memang tak tahu apapun tentang dunia para hantu yang membingngkan, “harusnya kamu bertanya pada hantu lain.”
“Wajah mereka menyeramkan.”
Aku tak mau berdebat lagi.
Venus benar, aku memang belum bisa melupakan Nathan. Mungkin jika sebelum pergi Nathan menjadi hantu dan bicara sedikit denganku, aku bisa saja melepasnya. Tapi, ia pergi tanpa bicara. Dan mengenai Azka, aku menjalankan hubungan ini bukan karena mereka mirip tapi karena, kupikir hanya Azka yang terbaik dibanding semuanya.
“Gimana kalau kita pacaran aja? Lucu juga hantu dan manusia pacaran.” Tawanya. Langsung kupukul kepalanya dengan raket yang tadi lupa kurapikan, “kenapa kamu marah? Jangan bilang kamu menyukaiku. Ckck.”
“Ya! Hantu itu gak punya hati! Gak bisa pacaran!” suaraku meninggi. Dari sekian hantu yang kukenal, tidak ada diantara para hantu yang menjalin cinta. Mereka hanya memikirkan orang-orang tercinta mereka ketika mereka hidup. Jadi, entahlah, aku belum menemukan sesama hantu pacaran lalu menikah ala-ala hantu. Lagipula, mereka akan pergi dari dunia ini kalau tujuan mereka sudah tercapai.
***
Azka memintaku untuk tidak lagi mengunjungi makam Nathan. Ini sulit. Nathan sendirian disana. Bahkan, pemakaman seluas ini hanya untuk Nathan seorang. Ia tak memiliki teman dipemakaman. Argh! Tapi kan, Nathan tidak menjadi hantu jadi ia tentu tak perlu merasa kesepian.
“Kalau semua pemakaman sesunyi ini, aku senang,” Venus berbisik disampingku. Sedang Azka sibuk membersihkan makam adik tirinya. Benar-benar kakak yang perhatian, “boleh aku menyentuh batu nisannya? Siapa tahu saja ia bangkit dari kubur.” Canda Venus.
Tapi ia benar-benar menyentuh nisan itu. Ia terdiam beberapa lama. Ia menceritakan kalau ia pernah menyentuh makam orang lain dan merasakan getaran tapi tidak dengan makan Nathan. Aku setuju itu, hantu-hantu yang kukenal juga mengatakan hal yang sama.
“Itu karena kamu gak pintar,” ucapku lirih. Tapi Venus kini lebih diam lagi. Ia memandangi makam tersebut dengan aneh.
“Ayo, pulang,” Azka mengejutkanku.
Ia mengantarkanku pulang ke rumah. Sedang Venus mengikuti kami dari belakang dengan berlari ala hantu.
Setiba dirumah, Venus mengomel karena makam Nathan aneh. Sepi. Sunyi. Seolah bukan pemakaman. Ia kasihan pada Nathan, “kalau aku meninggal, aku gak mau sendirian dipemakaman. Setidaknya, bersama orang yang kusayangi. Kalau ia masih diberi hidup lama, gak masalah, aku akan menunggu dipemakaman. Sendiri seperti itu menyedihkan,” ucapnya. Aku diam.
Otakku mengingat sesuatu. Kupegang kedua wajah Venus. Mengambil lap basah dan mencoba membersihkan seluruh darah yang mengering diwajahnya. Ada yang membuatku penasaran dan ini pertamakalinya aku membersihkan wajah seorang hantu.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku diam. Membeku. Ia terus menatapku heran.
**
Venus menjaga jarak denganku. Ia kini seperti takut mendengarku bicara, “kamu ini seorang wanita. Wanita!” ia menegaskan.
“Kenapa? Aku suka sama kamu. Bahkan mungkin, cinta,” senyumku makin mengembang. Ia ketakutan tapi aku tertawa terus menggodanya, “kita harus membuat rekor. Jarang-jarang ada hantu memiliki hubungan seperti ini dengan manusia.”
Tapi, Venus langsung berlari. Pergi. Entah ia bersembunyi dimana. Sepertinya Venus, dadaku sesak. Air mataku jatuh. Benar-benar jatuh.
Kini aku tahu, alasan Nathan tidak mengatakan apapun ketika ia dinyatakan meninggal oleh keluarganya. Kini aku tahu kenapa aku merasa sulit marah pada Venus. Karena, mereka orang yang sama. Sama.
“Aleya?” tiba-tiba Venus muncul, “aneh. Apa aku salah bicara? Maaf. Kamu gak akan mengusirku ke rumah hantu itu, kan?”
Kepalaku menggeleng. Melempar senyum padanya. Menghapus air mataku, “cewek aneh,” ia duduk di sofa. Memintaku agar menghidupan televisi. Ia ingin menonton kartun. Cepat-cepat aku duduk disampingnya. Tersenyum dan menonton dengannya. Sedang ia, merasa aneh dengan perubahanku.
***
Aku menuntut penjelasan dari Azka. Semuanya terasa ganjil. Ia diam. Ia justru menegaskan kalau sebaiknya kami cepat bertunangan.
“Nathan masih bernafas? Apa, apa kalian membunuhnya perlahan?” tanyaku, “kupikir, kalian baik padanya.”
Ibunya muncul. Ia mengatakan kalau aku mimpi buruk. Tidak! Aku tidak mimpi buruk! Jika seorang hantu hilang ingatan pasti ada alasan! Kalau seorang hantu memiliki sedikit detak jantung, bisa jadi ia ruh atau mungki benar saja setengah hantu.
“Apakah, kalian melakukan kejahatan?” tanyaku, mimik wajah ibunya Azka berubah.
Aku pergi darisana.
Menyelidiki satu persatu.
Sehari demi sehari. Berminggu-minggu. Hingga akhirnya aku menemukan kalau seluruh warisan yang dimiliki Nathan berpindah tangan pada ibunya Azka. Ibu tirinya. Tentu aku terkejut.
Kutemui mereka. Meminta penjelasan. Atau aku bisa melakukan sesuatu yang menyeramkan, “bisakah, bisakah kita membongkar makam Nathan?”
***
Kukumpulkan beberapa hantu yang cukup dekat denganku. Meminta mereka datang ke makam Nathan. Naas, hasilnya? Mereka menyatakan dengan tegas kalau tidak ada kerangka manusia didalamnya.
Hatiku sakit. Benar-benar sakit! Bagaimana bisa?
“Venus itu Nathan, benar bukan?” hantu wanita tua tersenyum, “beberapa dari kami sudah mengatakan kalau ia bukan bagian dari kami. Kenapa ia ketakutan? Karena ia bukan ruh juga bukan hantu.”
***
Venus tertawa ketika ia membaca komik. Aku heran. Ia bisa membuka lembar komik tapi tak bisa memencet tombol remote control. Tapi, entahlah, Venus berbeda dari Nathan. Ia terlalu kekanakan. Sekalipun terkadang Nathan kekanakan tapi tidak seperti Venus yang mirip anak berusia 5 tahun.
“Kamu belakangan jarang di rumah. Kemana aja?”
Apakah aku harus menjawabnya?
***
Kutemukan tubuh Nathan terbaring lemah di sebuah ruangan dalam rumah Azka. Ia memang tidak koma, tidak juga meninggal. Ia dipaksa tertidur dan seperti diminta mati perlahan. Melihatnya, aku tidak sedih tapi marah. Benar-benar marah.
“Polisi akan tiba. Mereka dalam perjalanan,” ujar seorang hantu anak kecil padaku, “apa Venus sudah tahu ini?”
Sayangnya, Venus tidak tahu seperti ini.
***
Venus meraih tanganku. Ia berteriak kesakitan. Ia memintaku membantunya, “aku tercekik. Seperti mau mati! Bantu aku. Aleya. Kumohon.” Aku membiarkannya. Hanya melempar senyum. Ini memang menyakitkan baginya tapi, ini lebih baik daripada ia yang berkeliaran tanpa arah.
“Aku sayang sama kamu. Bahkan, saat kupikir kamu pergi dari dunia ini, hanya ada kamu dimataku. Seperti itu.” Ucapku padanya sebelum tubuhnya perlahan memudar, ia menggelengkan kepala.
Tiba-tiba seseorang menghubungiku. Nathan sudah sadar. Aku tersenyum lega. Buru-buru aku pergi ke rumah sakit. Membuka pintu tempat Nathan dirawat, “bisakah kamu mengambilkan remote tv dan membiarkanku menonton kartun?” tanyanya, aku terkejut.
Ia ingat semuanya. Tidak ada yang terlewat. Ia ingat saat menjadi Venus dan berubah kekanakan serta berubah menjadi bodoh. Dan, ia pun ingat semua hal sebelum ia menjadi setengah ruh dan setengah hantu.

“Karena saudara dan ibu tiri aku di penjara, aku sendirian. Boleh aku tinggal lagi dirumah kamu?” candanya, aku tertawa. Entahlah. Sikapnya sedikit aneh. Mungkin ia masih bingung harus bersikap seperti Venus atau seperti sebelum ia menjadi setengah hantu.

END



*) Hei, yuk baca catatan calon cerpen atau bisa jadi calon novel. Judulnya "CRAVINTA". Untuk membaca KLIK DISINI

Kamis, 25 Februari 2016

Cravinta - (Sebuah catatan calon cerpen entah novel entah apa tapi belum kelar)


Raja Aldes mendengarkan dengan seksama laporan mengenai kegiatan putri bungsunya yang benar-benar sedikit memalukan sebagai keturunan raja. Namun, menegur atau memberikan putrinya, Cravinta juga merupakan hal sulit.

“Jika apa yang dilakukan Cravinta tidak berlebihan, menghukumnya bukan hal benar.” Pangeran Zelroi berusaha melindungi adiknya, “ayah tidak akan menghukum Putri Cravinta, bukan?”

**

“Aku menyukainya. Titik! Salah sendiri memintaku untuk pergi ke sekolah yang sama dengan penduduk yang bukan dari golongan bangsawan,” Cravinta berceloteh pada kakak tertuanya sekaligus pewaris tahta, Zelroi, “pokoknya. Aku menyukainya. Titik. Aku akan mengatakannya pada ayah!”

Zelroi meminta adiknya untuk tidak bertindak gegabah. Mungkin ayah bisa memaklumi karena putrinya mulai menyukai lawan jenis tapi sebagai raja, tentu ia harus mendengarkan pendapat banyak orang di istana ini, “kamu memiliki banyak teman dari kerajaan lain,” ia mencoba membuat adiknya untuk berubah pikiran, “pangeran Edward, sepertinya ia menyukaimu.”

Cravinta tertawa kecil. Ia mengatakan pada kakaknya kalau Pangeran Edward adalah sahabatnya sekaligus temannya berbisnis, “aku tidak akan terlibat dalam pernikahan kerajaan yang diatur.”

“Siapa yang mengatakan pernikahan selalu diatur? Ayah dan ibu kita tidak seperti itu.”

“Ya! Karena sebelumnya mereka saling mencintai dan Ibu berasal dari keluarga bangsawan!”

Mata Cravinta mendelik tajam. Zelroi mendesah lelah kemudian meminta adiknya untuk beristirahat saja dan mencoba mempelajari sesuatu. ‘karena menurut orang-orang di istana ini, darah siapa yang mengalir adalah hal utama’

**

Venus membuang rokok yang baru sedikit dihisapnya. Seorang guru hampir saja memergokinya merokok. Sedang disudut lain, seorang gadis menatapnya tajam. Gadis itu mengetahui apa yang dilakukannya. Ya! gadis itu Cravinta.

Melihat wajah Cravinta memandangnya, Venus langsung pergi dari sana. Ia tidak suka dengan sikap Cravinta yang selalu berusaha mendekatinya. Terlebih, Cravinta merupakan gadis yang sangat berisik. Ia tidak suka gadis yang seperti itu.

“Kenapa kamu pergi?” tiba-tiba Cravinta muncul di depan matanya. Ia tak terkejut karena hal ini sudah biasa, “aku akan selalu merahasiakan tindakanmu tapi dengan satu syarat, bisakah kita berteman akrab?”

Ucapan itu membuat Venus bergidik ngeri. Ia langsung tancap gas pergi. ‘siswi pindahan itu mengertikan. Baru beberapa bulan tapi ia selalu mengikutiku.’ Ingatannya kembali saat pertamakali Cravinta memperkenalkan diri dengan tingkah cerianya. Dan, ingatannya akan Cravinta yang tiba-tiba tersenyum padanya saat ia tak sengaja menabrak gadis itu ketika berlari. ‘dia gadis yang sangat cantik. Bahkan hampir seluruh siswa menyukainya tapi, tingkahnya mengerikan. Bagaimana bisa seorang gadis menyatakan perasaannya terang-terangan?’

Sedang Cravinta tetap berjalan dibelakangnya tapi ia terhenti ketika telinganya mendengar Pangeran Edward bicara.

“Tuan Putri, apa anda disekolah? Bisakah kita beremu beberapa menit?”

Cravinta langsung pergi ke toilet. Memastikan toilet kosong dan tidak ada satu pun yang melihatnya masuk ke toilet. Ia memejamkan mata kemudian, wuss ia sudah tiba disebuah padang rumput nan hijau.

Banyak pengawal disana. Dan tentu saja Pangeran Edward sudah menunggunya. Ia membungkuk 45 derajat untuk memberi hormat pada Cravinta dan Cravinta memberi hormat dengan membungkuk kembali. Mereka saling melempar senyum kemudian memberi kode agar para pengawal menjauh dari sini.

“Hei! Kenapa kamu memintaku datang? Ganggu aja!” ucapnya santai. Ia selalu seperti ini dengan Edward ketika tidak ada orang lain, “apa kamu ada masalah? Wow!”

“Kamu letakkan dimana otakmu? Coba sini!” ia menarik rambut Cravinta yang sebenarnya sangat pantang seorang putri Raja rambutnya disentuh sembarang orang apalagi ditarik seperti itu, “aku hanya bosan dengan suasana sekolah. Seharusnya kamu menghiburku. Putri raja Aldes ternyata gak bisa menghiburku.”

Cravinta mengeluh. Ia tak ingn menghibur orang lain karena dirinya pun butuh hiburan. Edward tak mau tahu akan hal itu. Ia hanya ingin Cravinta melakukan sesuatu agar ia bisa sedikit terhibur, “hei! Kamu ini pangeran! Kenapa harus memintaku kalau bisa meminta pada semua pengawalmu agar mereka memberi pertunjukkan lucu.”

Bibir Edward manyun. Ia menjitak kepala Cravinta karena menurutnya ada yang salah disana


Senin, 22 Februari 2016

Tabek (Part 2)

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung
AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung g

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung


AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung



AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung


AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

AulaNurul Ma'rifah
Location: Edelweiss Cottages, Tabek, Lampung

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...