Minggu, 18 Januari 2015

Venus - Cerpen



‘Entah apa yang terjadi, ini seperti mimpi’
Naira memandang sekeliling, masih tak ada yang berbeda dengan suasana sekolah padahal ia tahu betul seharusnya ada yang berbeda.
“Otak lu baik-baik aja Ra?” Olin ingin memastikan, “bentar, jangan bilang karena Elang? Aduh, udah lagi,”
**
Jarum jam dikelas bagaikan surga dimata Venus. Ia tak henti-hentinya memandang jarum jam itu. Ini bukan karena ia tak betah akan pelajaran yang berlangsung tapi ia ingin menyelesaikan sesuatu.
“Naira?” bisik teman akrabnya, “2 menit lagi selesai,”
Setelah bel tepat berbunyi, kaki Venus langsung tancap gas ke kelas Naira, pacarnya. Namun, ia tak mendapati Naira disana. Ia mendapati Naira duduk di pinggir lapangan bersama Elang. Venus tak cemburu, ia hanya takut Naira kembali pada sisi Elang.
“Kamu marah? Apa kamu marah? Kamu benar-benar marah?” tanya Naira datar, “sepertinya ada yang janggal disini,” ia memandang Venus dan Elang bergantian, “beberapa hari ini..., sudahlah, lupakan.”
**
Olin menyikut Naira setelah Naira selesai menempelkan pengumuman dimading. Tentu saja, Naira tak terima sekalipun Olin merupakan teman baiknya di sekolah.
“Baiklah, akan kita akhiri disini atau setelah pulang sekolah?” Naira menawari, “tapi, apa yang akan kamu dapatkan? Hah?!”
“Apa?” Olin balik tak terima, “sadar diri, pacar lo siapa tapi masih deketin Elang,”
Sekian kalinya Naira lelah mendengar Olin bicara seperti itu. Tak ingin memperpanjang masalah, Naira pergi darisana. Ia mencari-cari Venus yang sudah pasti ada dibelakang sekolah.
**
Jika sebagian orang mendapatkan cinta dengan jalan yang suci, tidak bagi Venus, selagi hal kejam bisa ditempuh mengapa tidak. Seperti itulah jalan pikiran Venus dan seperti itulah ia mendapatkan Naira.
“Tapi belakangan, Naira menyadari sesuatu,” curhatnya pada kakak perempuannya, “apa ini sudah salah sejak awal?”
“Tanyakan pada hati kecilmu,”
Venus menghubungi Naira, kali ini suara Naira lembut. Ia merasa Naira sudah tidak marah lagi padanya.
“Mimpi di sore hari itu mengerikan, benar-benar mengerikan,” celoteh Naira, “aku merasa kamu sedang menyiapkan kejutan,”
Klik, Venus menutup teleponnya. Ia tahu kemana arah pembicaraan Naira namun ia tak ingin membahasnya lebih jauh lagi.
‘apa berbohong hal baik?’



*)) belum selesai nulis cerpennya, sabar

Selasa, 13 Januari 2015

VIGIA - CERPEN JADULLL tahun 2011, tulisannya kacauuu ^^



Vigia
Kelopak mataku terbuka tapi aku tidak memandang mereka. Pada cermin aku bertanya tentangku, tiada jawaban yang aku dapat.
“Mengapa aku disini?” Tanyaku pada cermin tapi dia membalikkan ucapanku. “Kau diam, aku tahu itu.”
“Makanlah ini.” Kata wanita itu padaku. Aku tidak bicara, ku pandang dia tajam, dan memasuki nadi-nadi matanya. “Kau akan terus disini jika tidak menerimanya.” Katanya lagi, aku menaruh tanganku di lehernya untuk mengancam tapi ini tempatnya. “Tanda tanganilah, kau akan aman.” Aku tetap menolak.
Sebenarnya, aku bisa kabur dari tempat ini. Jendela kamar ini terbuka lebar, pintu-pun tidak terkunci, dan gerbang memberiku jalan untuk lenggang keluar dari bangunan ini. Tapi tidak, bodoh bila aku pergi dengan cara ini. Aku bukan perncuri dan aku keluar harus dengan terhormat.
“Duduklah.” Mereka mengajakku makan di sebuah ruangan dalam bangunan ini. “Sudah kau putuskan?” tanya salah seorang dari mereka, aku menggeleng. “Bicaralah sebelum pemakamanmu.”
“Kau akan membunuhku?” Tanyaku pada pimpinan mereka. “Kau sanggup? Bunuhlah aku sekarang.” Aku tertawa pada mereka dan merekapun tertawa padaku.
“Kau kira kami bodoh membunuhmu begitu saja?” Wanita yang di panggul Elzair menatapku tajam. “Jika ingin membunuhmu, sudah sejak kemarin namamu akan ada di batu nisan.” Dia menawarkanku secangkir minuman alkohol. “Kau yang menentukan takdirmu.” Katanya lagi sambil memandang ke yang lain.
“Hidupku sama saja bukan hidup.” Kataku, mereka memandang. “Besok aku akan ke sekolah. Letakkan kertas itu. Jika aku setuju, akan ku tandatangani.”
Itu menguntungkanku, dunia baru akan ku temui. Sesuatu baru yang menjadikanku lebih nyata dan di atas tingkatan manusia biasa. Akan tetapi, hatiku mengatakan ini salah walaupun ambisiku inginkan aku menjadi luar biasa. Lebih baik aku jadi manusia biasa yang nyata bukan manusia yang luar biasa namun kehidupanku bukan pilihanku.
“Kamu sakit? Aku kerumahmu dan katanya kamu sakit.” Tora memelukku. Aku tahu dia khawatir tapi dia-pun tahu, aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. “Aku mengerti maksudmu. Duduklah, sebentar lagi jam di mulai.” Akupun duduk di sampingnya.
“Aku tahu kamu khawatir.” Kataku sambil mengambil buku kimia. “Apa kamu berani terus di sampingku?” Pertanyaanku membuatnya ragu. Dia tahu sedang ada yang aku sembunyikan tapi dia-pun tahu, aku tidak akan memberitahu-nya kali ini.
“Kamu bisa membayangkan jika matahari tidak ada di bumi ini?” Tanyanya, aku menggeleng. “Jika kamu membayangkannya, akulah bumi itu.” Jelasnya, aku tertunduk.
Dia mengajakku makan siang sepulang sekolah. Aku terima ajakannya. Rasanya aku bersalah beberapa minggu ini jarang menemaninya makan.
“Aku tunggu di depan gerbang.” Kataku, dia tersenyum.
Satu persatu siswa pulang. Dimana Tora? Ku rasa tempat parkir sedang bermasalah. Tetap aku menunggunya, belum tentu besok aku bisa bersamanya.
“CA?” Tanya seorang pria paruh baya tapi dia rapi layaknya direktur. Aku memandangnya sinis, dia tahu tentangku. “Masuklah.” Katanya, akupun langsung masuk walaupun aku bisa lari. Ku ulangi, aku bukan pencuri dan aku tidak akan lari.
“Bisakah kamu berkerjasama dengan saya?” Tanya pria setengah baya itu padaku. “Kau menandatangani perjanjian dengan mereka?”
“Saya belum menandatanganinya tapi saya-pun tidak akan bekerjasama dengan anda.” Kataku sambil tersenyum sinis. “Yang anda inginkan adalah program itu?” Tanyaku, dia menggeleng. “Semuanya sama. Ya saya akui, itu-pun menguntungkan saya tapi hidup begitu mudah sama saja bukan hidup.”
“Kau akan mengikuti perlahan.” Katanya lagi.
Aku berada di dalam sebuah ruangan besar, serba putih. Ya semua benda putih dan udara begitu dingin. Dia memberikan tumpukan kertas padaku. Yang ku baca, isinya sama dengan yang di tawarkan padaku sebelumnya.
“Tanda tanganilah. Tidak ada yang di rugikan di antara kita.” Kami saling berpandangan. “Apa keputusanmu?”
“Jika kau ingin membunuhku, ku persilahkan.” Kataku lalu dia marah dan pistolnya sudah ada di depan mataku. “Kau yang takut, bukan aku.” Aku tertawa.
“Bisa saya menjemput CA?” Tanya Elzair yang tiba-tiba datang. “Anda akan merebutnya dengan cara licik seperti ini?” Tanyanya, keduanya saling memandang. “Pulanglah!” Perintah Elzair padaku, aku melangkah bersamanya.
Aku tersenyum-senyum sendiri. Ya, aku tahu ini menyangkut hidupku tapi rasanya lucu memperebutkanku dengan cara seperti ini. Elzair menyelamatkanku dari pria tua itu tapi aku-pun harus menghadapi Elzair nantinya.
“Kau menolongku?” Tanyaku pada Elzair.
“Jalanlah. Gerin menunggumu.” Katanya, aku tersenyum. Dia seperti ibuku atau kakak perempuanku walaupun dia jarang bersikap manis padaku.
Aku masuk ke mobil, ku lihat panggilan tidak terjawab di hanphone-ku. Tora, apa kabarnya dia? Ku tinggalkan dia di sekolah.
’kamu ada masalah sayang’ Pesan masuk dari Tora di handphone-ku.
Sesak dadaku, bukan aku menangisinya dalam hati tapi aku kasihan padanya. Yang aku tahu, dia mencintaiku lebih besar dari pada aku mencintainya. Yang dia tahu, aku hanya siswa SMU biasa. Tidak ingin aku membuatnya sakit hati.
“Kamu akan baik-baik saja.” Kata Gerin, dia sudah ada di dalam mobil menungguku.
“Ya, aku akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang membunuhku kecuali diriku sendiri.” Kataku, Gerin mengusap kepalaku. Cowok itu sebenarnya baik hanya saja dia sama sepertiku. Orang menyangkanya mahasiswa biasa tapi nyatanya dia luar biasa.
Gerin, dia selalu bersamaku sejak kecil. Dia, dia dan aku hidup bukan pada dunia nyata tapi hidup pada sketsa-sketsa yang mereka gambarkan. Aku tahu dia tidak ingin disini tapi inilah hidup kami, bukan kami yang melukiskannya. Mengenai cintanya, ya cintanya padaku tidak akan sampai karena hidup kami akan rumit jika saling mencinta.
“Bagaimana hubunganmu dengan Tora? Dia tidak mencurigaimu belakangan ini?” Tanya Gerin sambil membaca dokumen-dokumen ditangannya.
“Kau-pun tahu, sejak awal dia curiga dengan kehidupanku yang penuh misteri.” Jelasku padanya. “Tapi dia-pun tahu dan dia tidak pernah menanyakannya.”
“Kamu benar mencintainya?” Tanya Gerin lagi, aku tidak menjawab lalu kupejamkan mataku.
Aku terbangun ketika terdengar suara biola di kamarku. Kubuka mataku, aku sudah berada di sebuah kamar dan di dekat jendela, Gerin memainkan alat musik itu.
“Kamu sudah bangun?” Tanyanya padaku. Aku tidak menjawab, mataku masih berat untuk benar-benar terbuka. “Maaf aku mengganggumu. Aku kira kamu sudah terbangun tapi ternyata aku salah. Kamu tidak sekolah?”
“Jam berapa ini?” Aku melihat jam di meja. “Masih pukul empat pagi. Mengapa kamu terbangun sepagi ini?”
Dia tidak menjawab dan melanjutkan dengan alat musik itu. Ku lihat dia, rasanya ada yang berbeda. Akankah ada yang ingin dia beritahukan padaku? Mataku masih lelah, ku tenangkan diriku dan ku-minum segelas air putih.
Mengapa dia ke kamarku sepagi ini? Rasanya semalaman dia tidak terlelap jika aku lihat gelembung-gelembung di matanya.
“Elzair di tembak oleh seseorang semalam.” Beritahu Gerin , seketika aku merasa sesak. “Kamu pasti terkejut. Aku-pun tidak tahu tapi ketika aku melihatnya, dia sudah tidak sadarkan diri.” Jelasnya dan dia mengambil sisir lalu membenahi rambutku.
Bagaimana bisa? Bukankah rumah ini, maksudku bangunan ini memiliki sistem pengamanan yang canggih. Rasanya Elzair tidak semudah itu untuk tertembak, aku yakin ada orang yang begitu pintar di balik semua ini.
Perlahan rambutku tertata rapi, dia memang baik padaku dan mungkin orang yang paling aku percaya adalah Gerin. Dia memandangku, dia tahu aku khawatir dengan Elzair walaupun wanita itu tidak perlu di khawatirkan.
“Dia akan baik-baik saja. Mungkin beberapa hari lagi dia akan sadar. Dia berbeda dengan kita yang tidak akan pernah sakit.” Katanya lalu berdiri dan menyuruhku bersiap-siap ke sekolah. “Aku yang akan menjagamu bukan Elzair yang orang mengenalnya, dia kakakmu atau kakak kita.”
“Ya aku tahu itu. Kita bukan saudara tapi orang mengenal kita saudara. Kamu sebagai sepupuku.” Kataku lalu aku mengambil tugas biologiku. “Saat aku mandi, aku minta kamu mengoreksi pekerjaanku.” Jelasku.
“Maksudmu mengoreksi apakah semua jawabanmu benar? Kamu pintar tapi kamu menutupinya. Ya itulah hidup kita.”
Rasanya aku harus menemui takdirku untuk tetap hidup atau aku menyerah dalam semua ini. Kami berdua, ya tapi sebelumnya kami bertiga sampai salah seorang memilih berhenti di kehidupan ini. Hanya aku dan Gerin disini, kami masih kuat menjalaninya walau kadang ada hal-hal tertentu yang kupikir itu buruk untuk kehidupanku. Tapi aku harus menegaskan kembali, hidupku seketsa mereka, bukan aku.
Dia mengantarku sampai gerbang sekolah. Masih pukul enam pagi dan hanya ada beberapa siswa yang datang. Ku ajak Gerin bicara setidaknya sampai aku tidak sendiri di sekolah ini.
“Tugas biologimu benar sekitar 80%. Kamu melakukannya dengan baik. Kamu bisa jadi siswa terpintar jika kamu mau.” Katanya. “Tapi itu akan semakin menyulitkan hidupmu.” Lanjutnya lagi. Kami sama-sama tidak ingin kehidupan kami semakin sulit.
“Kamu akan menjaga Elzair?”
“Tidak.” Jawabnya singkat. “Mengapa harus aku lakukan jika ada orang lain yang bisa menjaganya? Dia bukan seperti kita jadi biarkanlah dia tenang disana. Tanpanya hidup kita-pun sedikit lebih tenang.”
“Baiklah aku mengerti akan hal itu.” Aku tersenyum padanya seakan keadaan Elzair membuat aku dan Gerin bernafas lega walaupun masih ada yang lain. “Kamu menyuntikkan obat itu padaku semalam? Rasanya aku semalam merasakan sakit tapi pagi ini aku merasa lebih segar.”
“Sejak lahir kita bukan manusia yang di takdirkan hidup layaknya manusia-manusia lain. Tanpa obat itu kau dan aku akan merasakan sakit.” Jelasnya padaku. “Walaupun tanpanya kita masih bisa bernafas.” Dia tersenyum lalu merapikan seragam sekolahku. “Masuklah, Tora sudah melambaikan tangannya padamu.”
Aku pergi. Dia sana Tora menungguku. Gerin benar, semua-nya itu tergantung aku menjalani hidup ini. Apa yang aku pilih dan apa yang aku jalani sudah terprogram semuanya dengan detail.
Tidak tahu bagaimana kabarnya Elzair. Aku belum melihat keadaannya sama sekali tapi aku yakin dia baik-baik saja. Wanita yang di tugaskan menjagaku itu tidak akan mudah melepaskan tanganku begitu saja. Dia menjadi hantu-pun akan selalu membayangiku di setiap langkah aku berjalan.
“Siapa dia sayang? Rasanya baru kali ini aku melihatnya?” tanya Tora, aku belum menjawab. Aku masih sibuk melambaikan tanganku pada Gerin. “Kakak kamu kemana? Apa dia sakit?”
“Kakakku ada di rumah. Dia sedang sibuk. Dia sepupuku, kamu mungkin baru melihatnya kali ini tapi dia sering melihat kamu.” Jelasku. “Masuk yuk. Kamu udah sarapan sayang?” tanyaku, dia menggeleng.
Kami disana, di kantin sekolah. Aku tahu dia sedikit marah padaku tapi dia-pun mengerti pasti aku memiliki alasan lain untuk itu. Hampir satu bulan sudah aku jarang bersamanya. Hanya di jam sekolah kami bertemu, di luar itu aku tidak ada waktu untuknya.
Kepalaku terlalu sakit jika aku memutar otak dan aku melihahat apa yang akan terjadi esok. Aku tidak mementingkan cintaku, hatiku, hidupku lebih berarti. Di sini bukan cinta yang aku cari tapi pilihan jalan hidupku untuk bersama siapa.
Aku tahu akan tetap hidup jika satu diantara keduanya kutandatangani. Keduanya sama-sama menguntungkanku tapi setidaknya ku-pakai hatiku kali ini.
“Kamu berpikir tentang ini?” Tanya Gerin padaku. Aku mengambil pena di tas-ku. “Akan aku tandatangani perjanjian itu.” Kataku, dia menggenggam tanganku, mengambil pena itu dariku.
“Perjanjian yang mana?”
“Siapa yang membuatku hidup seperti ini? Ya, itulah jalanku.”
“Elzair akan tersenyum padamu.” Dia mengembalikan penaku .”Kamu tidak akan mengecewakannya.” Dia tersenyum setidaknya pilihanku membuatnya bisa terus disisiku. “Kamu ingin melakukan hal seperti remaja lainya hari ini?” Tanyanya, aku diam tidak menjawab. Aku tidak ingin. Aku tidak mau. Namun, aku-pun tidak menolaknya.
Kami disana, di tempat umum, di sebuah mall. Aku lihat anak-anak seumurku tertawa, berbelanja, dan berjalan bersama kekasih mereka. Tapi aku, aku tidak seperti mereka.
“Kamu iri?” Gerin menawarkan sekaleng minuman bersoda.
“Mengapa aku iri? Hidupku lebih sempurna dari mereka, hanya saja aku tidak bisa bersenang-senang seperti mereka.” Jelasku. “Bukankah kita sama? Garis hidup kita bukan seperti manusia lainnya.” Kuperjelas agar dia tidak banyak bicara.
Gerin menarik tanganku ke dalam tangannya. Kami berjalan melihat kehidupan manusia lain. Akankah satu kali saja aku bisa seperti mereka? Rasanya tidak akan pernah walaupun aku ingin.
“Hidup bergitu sempurna tidak terlalu menyenangkan.” Kataku pelan.
“Pikiran-pikiran bebas itu tidak akan pernah kamu dapati, bagitupun denganku.” Gerin menaruh tangannya di pinggangku. Dia menjagaku saat ini. Maksudku kami saling menjaga.
Setumpuk kertas diberikan Gerin padaku. Aku kira itu tentang kehidupanku tapi bukan. Disana, ya disana gambar-gambar kartun. Apa maksudnya? Aku belum bisa menebaknya. Akankah ini tentangku? Rasanya bukan.
“Kamu tahu?” Tanyanya, aku mengembalikan kertas-kertas itu. “Sama saja, awalnya aku tidak mengerti. Elzair memberikannya padaku. Katanya kamu mengganggap hidupu seperti ini. Benarkah itu?”
“Ya, kamu tahu, aku-pun tahu itu,”
Dia meminta kertas HVS padaku, ku ambil selembar kertas dari tas-ku. Garis-garis itu dia lukiskan. Wajahku mulai terbentuk. Ya, dia melukisku. Dia bisa melalukan segalanya walaupun itu bukan hobby-nya.
“Kamu cantik di lukisan ini.” Ucap Tora yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. “Rasanya kamu banyak waktu luang.” Lalu dia duduk di antara kami. Gerin tersenyum lalu memperkenalkan namanya pada Tora.
Aku rapikan kertas-kertas itu dan kumasukkan ke dalam tas-ku. Pandangan Tora padaku membuatku takut, seakan dia lelah denganku. Ku-maklumi itu, hidupku saat ini memang bukan untuknya. Masih panjang jalanku untuk menyelesaikan ini, semuanya bukan sekedar untuk cinta.
“Kamu banyak waktu sayang?” Tanyanya padaku, aku menggeleng. “Rasanya cintaku padamu tidak akan selesai.”
“Apakah kehadiranku mengganggu kalian?” Tanya Gerin, aku diam. “Tapi aku akan tetap disisi kekasihmu. Itu tugasku.” Jelasnya lalu Tora berdiri memukul wajah Gerin.
Ketika itu ku diam. Aku tidak khawatir pada keduanya. Gerin tidak akan membalas perlakuan Tora, aku yakin itu karena Tora jatuh jika itu terjadi.
“Kau tidak melawanku?” Tanya Tora pada Gerin. Petugas hanya menonton, aku yang meminta itu. “Apa kau begitu lemah?” Tanya Tora lagi, Gerin tertawa.
“Ya.” Kata Gerin singkat. “Pulanglah, kamu akan bermasalah jika dikeramaian.” Gerin berdiri. Berbisik padaku, aku hanya mengangguk. “Duluan saja.” Katanya lagi sambil memberikan pena padaku. “Berikan ini pada ETA.” Katanya, ya itu nama sebutan untuk pimpinan kami.
“Pergilah jika kau mau. Rasanya aku tahu perjalanan ini.” Kata Tora memandangku kecewa. Kali ini sama, aku tidak bisa menjelaskannya. Sebelumnya, aku-pun tahu dia tidak bisa terus disisiku. Itu membahayakan hidupnya. “Sampai besok disekolah.” Dia pergi dari hadapan kami.
Gerin tersenyum padaku tapi senyumnya seakan bicara bahwa akan ada hal besar lain untukku. Ini tidak akan membuatku lemah. Cintaku akan membawa bencana jika ku-lanjutkan.
“Pada akhirnya kamu bersamaku untuk kesana.” Kataku, Gerin tertawa. “Kamu baik-baik saja?”
“Beberapa menit lagi luka ini akan hilang. Kamu tahu itu, bukan ini yang bisa membuatku terluka tapi diriku sendiri. Kehendakku.”
Kami disana, dirumah sakit bawah tanah, rumah sakit khusus. Kulihat Gerin disampingku, rasanya dia khawatir.
“Kamu mengalami hal yang sama denganku dulu.”
“Ya, aku tahu itu.” Kataku singkat.
“Gunakanlah pena ini.” Dia memberikanku pena berlapis emas dengan ukiran-ukiran penuh makna, aku tidak tahu apa arti ukiran itu.
Elzair disana tidak sadarkan diri. Dia hanya manusia biasa yang bisa sakit dan kapan dia sadar, tidak ada yang tahu. Di pojok ruangan terdapat bunga lili dan Gerin mengganti bunga kamboja.
“Mengapa kau lakukan itu?”
“Agar dia takut mati dan bisa kembali hidup.”
Aku duduk di sofa menunggu pimpinan kami dan Gerin sedang fokus pada pemeriksaan dokumen-dokumennya.
“Anda yakin?” Tanya pria yang sering disebut ETA. “Ada dua pilihan. Bersama kami atau mereka?”
“Yang kau maksud mereka, semua kaki tangan pria tua yang menculikku beberapa waktu lalu itu?” Tanyaku lalu dia menyodorkan beberapa lembar kertas. “Aku membawa pena sendiri.” Aku menulis di atas kertas itu. Tanda tanganku disana, di atas lembaran neraka itu.
“Kau akan aman. Seseorang yang memberikan pena ini akan mempertaruhkan hidupnya untukmu.”
Aku memandang ETA. Kulihat sekeliling, Gerin tidak ada.
“Dia diluar menunggumu.”
Aku tahu setelah ini akan ada hidup yang rumit. Namaku diatas semuanya. Apa yang mereka bilang, apa yang mereka lakukan, aku setuju. Mereka tidak akan melakukan pembunuhan terhadapku tapi mereka bisa menekan batinku. Pemikiranku mereka ikuti, pemikiran mereka ku setujui, dan tindakan mereka atas persetujuanku.
“Kamu sanggup?” Tanya Gerin.
“Aku pintar, kau tahu itu bukan?” Aku tertawa, rasanya aku sedikit sombong tapi itulah fakta yang aku sembunyikan dari banyak orang.
“Tapi tidak ada waktu istirahat untukmu walau satu detik. Hidupmu akan penuh dengan pemikiran-pemikiran tiu, percobaan-percobaan itu, dan tindakan-tindakan itu.”
“Kamu bisa, mengapa aku tidak? Aku tidak akan mati karena apapun kecuali aku yang menginginkannya.”
Gerin mengajakku ke sebuah ruangan. Tempat itu penuh dengan tabung-tabung yang membeku. Tempat apa ini? Rasanya aku untuk pertama kali disini.
“Mereka, tabung-tabung ini akan tumbuh dan hidup seperti kita.” Jelasnya. Aku mengerti akan hal itu. “Kau tahu pria tua yang beberapa waktu lalu membawamu?”
“Maksudmu pria tua yang menculikku, maaf merebutku dari mereka itu? Dengan cara halus yang licik itu?”
“Ya. Dia membuhuh beberapa professor-professor tua itu dan setelahnya dia membunuh dirinya sendiri. Dia manusia biasa dan dengan mudahnya dia bisa mati.” Aku menarik nafas panjang lalu ku-pandnagi tabung-tabung itu. “Dia kecewa tidak mendapatkanmu.” Jelasnya, aku tertawa kecil.
“Hidupnya sia-sia, dia tidak mendapatkanmu dan juga tidak mendapatkanku. Kamu tahu, hanya kamu dan aku yang masih bisa bernafas dari percobaan itu.”
“Kamu benar.” Dia memelukku dan mengajakku keluar dari ruangan penuh tabung itu.
Kami pergi jauh dari rumah sakit khusus itu kembali pada bangunan dimana kami dibesarkan.
“Jika pria tua itu memilih hidup, dia akan mati dimakan usia.”
“Akan lama baginya menunggu percobaan berikutnya berkembang. Itupun belum tentu berhasil.”
“Dia akan mati sebelum itu.” Kata Gerin lalu kami saling memandang dan tertawa kecil seolah ini hanya permainan anak-anak.
Oleh: aula nurul (26 april 2011, hari selasa pukul 21 .47 diketik tapi selesainya pukul 14.00)













Xing-Xing - CERPEN oleh Aula Nurul




Kau pernah mendengar tentang Bruwa dan Ton Iwa? Tentu saja kau harusnya bukan hanya mendengar, kau harus tahu. Mungkin.

**

”Mbak jangan nyalahin saja aja dong! Mbak juga kan Ibu nya!” Suara petasan meledak di luar sana.

”Bagaimana bisa?! Hah!”

Ini benar-benar membuat kepalaku sakit. Kedua ibu tiriku selalu berkicau tiap detik. Mereka kira aku belum pulang dan mereka takut jika Ayah marah. Bagaimana pun aku anak tunggal di keluarga ini.

**

”Xĩngxing duō.” Kata Haikal dalam bahasa mandarin yang artinya bintang begitu banyak. Dia menunjuk satu bintang. ”Mungkin itu Ibumu, atau mungkin bintang yang lain.”

”Aku merindukannya.” Kami memandang bintang dari jalanan ini, jalan yang begitu ramai di pusat kota. ”Entahlah bagaimana Ayahku menikahi dua monster itu.” Aku menghela nafas.

Haikal membelikanku jagung bakar seharga 3000 perak. Dia tersenyum padaku.

” Xĩngxing duō.” Aku memegang dadaku. ”Ibuku selalu bersamaku di sini.”

**

Kedua ibu tiriku dapat di gambarkan sebagai Ton Iwa dimana mereka jahat tapi, mereka juga dapat di katakan sebagai Bruwa yang baik. Entahlah, aku juga sedikit bingung.

”Sayang, kamu udah makan?” Tanya Bunda Irma lembut. ”Kita makan di luar ya?”

”Eh, kita belanja-belanja aja.” Bunda Hesty menyenggol singuk bunda Irma. Mereka memang sekali pun tidak pernah akur tapi mereka perhatian, hanya saja, aku tidak tahu apakah itu suatu ketulusan atau tidak.

Ayah lembur di kantor dan dia memintaku makan malam bersama kedua monster kicau. Rasanya aku benar-benar bosan jika harus menonton teater kicau yang di perankan mereka.

”Kamu banyak-banyak makan sayur.” Bunda Henty mengambilkan sediit sayur untukku. ”Biar kulit kamu sehat.” Ku lihat sayur yang tidak kusuka sudah ada di piringku.

”Lauknya juga sayang.” Bunda Irma tidak mau kalah.

Aku menonton, memperhatikan dua tingkah manusia yang aneh. Harusnya mereka merayu Ayahku, bukan aku.

”Berisik!” lalu aku meninggalkan meja makan.

**

Haikal membelikanku soft drink dan dia tertawa mendengar ceritaku. Katanya, harusnya aku senang, setidaknya lima tahun ini rumahku ramai, tidak seperti kuburan.

”Dulu kamu sering loh ngeluh karena rumah sepi.” Sindirnya, sejak kecil memang kami tumbuh besar bersama. ”Dan sekarang rame juga ngeluh.” dia mengusap kepalaku.

Entahlah, aku pun bingung. Yang di katakan Haikal benar dan tidak ada yang salah. Bagaimana pun aku tidak pernah membenci kedua ibu tiriku, hanya saja aku kesal jika mereka berkicau setiap saat hany karena masalah sepele.

”Kamu mau tau nggak kenapa Ayah kamu menikah dengan mereka?” Tanya Haikal, aku mengangguk. ”Yah, bagaimana pun itu wasiat Ibumu, dan tante Hesty bukanya adik ibumu?” Aku mengangguk lagi.

”Tapi bunda Irma pilihan Ayahku.”

”Terserah kamu tapi, yang kamu jalani lebih baik bukan?” Tanyanya, aku tersenyum. ”Setidaknya mereka bukan sosok ibu tiri dalam kisah cinderella.” Aku tertawa kecil.

**

Pagi ini lagi dan lagi, aku melihat mereka berkicau di meja makan. Entah apa yang mereka katakan pada Ayah, aku tidak begitu peduli. Aku sibuk membenahi poniku dan dasiku. Rasanya akan membuang-buang waktu jika mendengar mereka, aku akan terlambat sekolah.

”Nanti kabarin Chaca ya siapa yang menang.” Kataku lalu pegi meninggalkan meja makan dan langsung meluncur bersama Haikal. Dia tersenyum seolah tahu apa yang terjadi di rumah.

Aku menyayangi Ayah dan dia pasti membuat pilihan yang terbaik. Buktinya saja dia juga menikah dengan dua wanita baik-baik dan tidak menyiksa batinku. Ayah memang segalanya untukku.

Ayah pernah mengatakan bahwa dia akan melakukan apa pun untukku tapi aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin Ayah bahagia bersamaku, itu saja.

**

Ai.” Haikal menggambar bentuk hati pada handphonenya. ” Xĩngxing.” Lalu gambar bintang. ”Cinta kamu adalah bintang kamu.”

”Ada apa?”

”Aku tahu ada kebimbangan dalam hatimu.” Katanya. ”Bintang-bintang itu berkeliling bukan?” Aku menarik nafas sejenak. ”Kamu ingin kedua bundamu tidak berkicau bukan?”

”Tidak.” Jawabku. ”Aku ingin mereka tetap berkicau tapi setidaknya mereka berteman baik. Itu saja.”

**

Bunda Irma memberikanku sebuah gelang perak yang bertuliskan namaku. Tentu saja aku mengucapkan terimakasih padanya tapi, apakah ini sebuah sogokan? Dan beberapa saat kemudian bunda Hesty juga memberikanku sebuah gelang juga. Mengapa mereka tahu saja apa yang kusuka?

”Bunda.”

”Ya.” Jawab mereka bersamaan lalu saling pandang singut.

”Kalian menyogokku atau merayuku selama ini?” Tanyaku, mereka diam. ”Ayolah, aku hanya ingin kejujuran, kumohon, aku hanya ingin tahu.” Mereka diam, saling pandang. ”Jika kalian anggapanku benar, setidaknya kita bisa mendamaikan rumah ini walaupun kalian sebenarnya tidak menyayangiku.”

Bunda Hesty diam, begitu pun dengan bunda Irma. Ya, inilah yang ingin ku tanyakan dari dulu. Mereka memang Ton Iwa jika sedang adu mulut tapi mereka Bruwa jika berbicara padaku. Aku bingung dengan semua ini.

”Ayolah, atau aku akan jarang di rumah, aku akan sering bermain di luar sana.” Ancamku. ”Kalian tahu kan jika Ayah marah seperti apa?”

**

”Bintang itu bukan Ibu kamu Cha tapi, itu hati kamu.” Kata Haikal, aku memandangnya. ”Ibu kamu adalah hati kamu.” Dia mengajakku ke lapangan basket.

Haikal men-drible bola itu dan aku memandangnya. Kurasa aku tahu makna ucapannya dan makna pantulan bola itu. Semua hal tentunya bukan tentang mereka tapi, ini tentang diriku.

”Apakah mereka benar-benar mencintaiku?” Tanyaku, Haikal menangguk. ”Tapi tingkah mereka ke kanak-kanakan?”

”Benarkah?” tanyanya, lalu memberikan tangannya. ”Bisa pergi denganku seharian ini? Keluargaku mengajakmu berlibur dua hari ini.” Jelasnya. ”Aku sudah bicara dengan Ayahmu, dia setuju, dan kedua bundamu tidak akan tahu.”

”Tentu, apa ini undangan dari keluarga kamu? Wah, ternyata kita bukan cuma sepupu deket tapi, udah kayak sodara kandung.” Aku tersenyum. Bagaimana pun, Haikal adalah keponakan Ayahku dan tentu kami harus bersikap sebagai saudara.

**

Berkali-kali handphoneku berdering, tidak bunda Irma dan tidak bunda Hesty selalu menelfon. Ayah sendiri sedang berkunjung ke rumah nenek di luar kota.

Kata Haikal, mereka akan mengkhawatirkanku jika mereka menyayangiku. Tapi, aku tidak yakin mereka khawatir karena takut dengan Ayah atau memang karena memperhatikanku. Entahlah.

”Mereka menghubungiku dan kukatakan tidak tahu.”

”Oke, terserah.”

**

Aku merindukan Ibu kandungku dan aku ingin dia benar-benar kembali. Rasanya ini cukup tidak adil bagi diriku.

”Apa yang kamu  pikirkan? Kedua ibu tirimu?”

”Xĩngxing.” kataku sambil memandang langit. Kedua orang tua Haikal sedang membakar jagung dan aku mencoba menghitung bintang di langit. ”Apa di antara bintang-bintang itu ada ibuku?”

”Nggak Cha,” dia menutup mataku. ”Bayangkan, Ibu kamu ada di semua penglihatan kamu.”

Kulihat lagi handphoneku yang ku-silent dan benar, tentu saja, ada beberapa panggilan dari kedua ibu tiriku. Apa mereka khawatir? Atau mereka takut pada Ayah? Entahlah, aku masih bingung.

”Kamu mau percaya satu hal?” Tanyanya sambil membuka tangannya yang menutupi kedua mataku. ”Percayalah, kedua ibu tirimu menyayangimu hanya saja, mereka terlalu kekanak-kanakan.”

”Bagaimana kamu bisa yakin?”

”Karena mereka menangis. Aku memiliki vidio yang di kirim oleh seseorang di rumahmu.”

Aku mengambil handphone Haikal dan kulihat vidio itu. Aku tertawa. Lucu sekali saat kedua ibu tiriku yang biasanya bertengkar ternyata bisa saling berpelukan dan menangis. Aneh sekali. Benar-benar aneh.

”Mereka nggak jahat dan baik tapi, mereka benar-benar baik.” Haikal menarik handphonenya.

**

Haikal mengantarkanku pulang tepat di depan pintu rumah. Kuharap kedua burng yang hobby berkicau itu bisa bertobat.

”Chaca.” Kedua ibu tiriku langsung berlari dan memelukku ketika melihatku pulang. Aku memang tidak mengetuk pintu dan langsung masuk saja ke rumah. ”Bunda khawatir.” Kata bunda Hesty.

”O,” Kataku singkat lalu menaruh tasku di lantai. ”Tumben nggak berkicau?”

”Cha,” Bunda Irma memelukku lagi.

”Oke, baiklah, ini sudah cukup.” Lalu aku kembali ke kamarku untuk beristirahat.

Aneh, lucu sekali ketika mereka memelukku dengan air mata. Ini benar-benar membuat perutku sakit dan ingin terus tertawa.

TAMAT

Xĩngxing = bintang

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...