Rabu, 11 Mei 2011

Cerpen - Biarkan aku tenang

Hmb, gua buat cerita ini dalam keadaan paleng wah, bingung mau nulis apa tapi ujung-ujungnya jadilah ini tulisan. Gua rasa untuk ngebacanya, kalian gk rugi karena udah buat gua seneng :D xixixi

Biarkan aku tenang

Langkah Yuri terhenti sesaat. Dia tidak tahu, perjalannya adalah untuk siapa dan untuk apa. Dia tidak mengerti dengan hidupnya kali ini. Yang dia tahu, dia akan menjalani hidupnya bukan atas kemauannya.
“Pa, nanti Yuri pulang telat.” Kata Yuri pada Ayahnya. Sesaat Martin, Ayah Yuri memandang anaknya. “Besok aku ada acara sama temen-temen dalam rangka buku aku yang terbit Pa,” Ayahnya tersenyum.
Gadis itu disana, tersenyum bersama teman-temannya dan bersama kekasihnya. Tapi tidak, masih ada yang mengganjal dalam hati Yuri. Dia tidak akan tahu sampai kapan dia bisa tersenyum seperti ini. Dia tidak tahu sampai kapan dia bernafas sendiri oleh dirinya, bukan oleh jalan yang digariskan orang lain.
“Selamet ya. Wah nggak nyangka loh gua Yur bisa makan-makan dalam rangka beginian.” Stevani memeluk Yuri. Ya, mereka saling bersahabat. “Wah sukses deh buat sahabat gua yang jelek ini.”
“Enak aja! Hu lo tuh yang jelek!” Kata Yuri kesal. “Kalo gua jelek mah, nggak bakal Dion cinta mati sama gua.” Jelas Yuri sambil melirik ke Dion, kekasihnya.
“Wah okelah. Hehe yang penting anda bahagia walaupun saya menderita.” Lalu Stevani perlahan memakan makanan yang sudah dipesannya. Kali ini mereka hanya bertiga, Yuri akan merayakan bersama teman-teman yang lain esok harinya.
Kedua orang tercinta mengucapkan selamat padanya, memeluknya dan memberikan dukungan besar tapi Yuri, dia tidak tahu sampai kapan itu akan abadi. Menurutnya, dunia ini terlalu jahat. Dia selalu bertanya kapan dunia akan kiamat tapi tidak ada yang menjawabnya, yang dia tahu sebentar lagi hidupnya akan berantakan. Dia sudah memastikan itu kecuali takdir membunuhnya.
“Aku sudah menjelaskannya sama kamu. Aku tahu kamu mengerti penjelasannku tapi mengapa kamu masih disisi aku?” Tanya Yuri pada Dion.
“Karena aku tahu, kamu mencintaiku. Aku akan tetap berdiri disampingmu walaupun kamu nantinya jadi milik orang lain.” Ucap Dion menunduk. Dia sesak mengetahui Yuri suatu hari tidak akan menjadi miliknya tapi dia tahu cinta Yuri hanya untuk dia seorang. “Tapi sayang, Ayah kamu menyetujui hubungan kita. Mengapa kamu seperti ini?”
“Ya aku tahu itu. Tapi kamu pun tahu alasanku. Ucapannya menyakitkan hatiku setiap detik. Kadang aku bertanya apakah dia menyayangiku?” Ucap Yuri pelan. Dion tahu, kekasihnya tersebut ingin menangis tapi dia-pun tahu Yuri seorang yang kuat. Dia tidak akan menangis untuk hal apapun dan kesedihannya hanya tergambar dari matanya yang merah.
“Aku ingin menentangnya tapi aku tahu dia ibumu. Kamu nggak baik menentangnya tapi aku-pun tahu kamu tersiksa. Ingin rasanya aku membawamu pergi tapi kamu-pun tahu, itu salah karena aku akan membuatmu memiliki dosa besar.” Lalu Dion mengambil buku catatannya ditas. “Kamu lihat kertas ini sayang? Jika kamu menuliskannya maka akan ada tulisan bewarna sesuai dengan tinta yang kamu pakai. Pada akhirnya kertas itu bisa rusak dan terbuang begitu saja tapi kertas itu akan terjaga jika ada yang menjaganya.” Katanya lalu memandang Yuri lekat.
“Dion, aku lelah. Sejak dulu kamu tahu, aku lelah dengan hidupku. Aku lelah. Aku lelah Dion. Kau tahu apa yang aku tunggu? Ya kematianku Dion.” Lalu Yuri terbatuk. Ya, Dion tahu kekasihnya ingin menangis tapi dia selalu tahu, Yuri tidak akan pernah menangis. “Kamu berpikir aku sedang menangis? Benar, itu benar tapi hati aku yang menangis. Mataku tidak akan pernah mengeluarkan air mata sejak saat itu Dion.”
“Aku mengerti maksudmu. Sudahlah, aku tahu setiap kamu membahasnya, kamu terluka.”
“Tapi jika aku-atau-pun-kamu tidak membahasnya, semuanya akan makin rumit untuk aku selesaikan.”
Yuri dirumah, di ruang keluarga bersama kakak laki-lakinya. Dia diam, ya sebulan ini dia selalu diam dan tidak banyak bicara dirumah. Yang dia tahu, dirumah suaranya tidak akan berarti apa-apa. Dia menganggap dirinya boneka saja, tidak lebih.
“Dek.” Panggil kakaknya. Yuri hanya memandang kakaknya sesaat. “Ambilin remote TV sih.” Kata Visco dan Yuri begitu saja mengambilkan tanpa bicara sedikitpun. “Dek, lo kenapa? Lo jujur sama gua, lo ada masalah?” Tanya Visco. Umur mereka tidak jauh, hanya berbeda dua tahun.
“Apanya?” Yuri memandang sinis kakaknya.
“Gua tau apa yang lo rasain tapi nggak selama ini juga lo diem terus.”
“Lo enak kak. Lo berdiri dijalan elo, lo ketawa diposisi yang lo suka, lo bisa mandang dunia yang lo mau.” Jelas Yuri, Visco tidak bisa bicara lagi. “Belakangan ini gua diem kak? Yaudah sekarang gua ngomong. Apa yang mau lo tanyain?”
“Gua tau, lo nggak suka dengan apa yang ditentuin Mama tapi itu udah keputusan Mama dek. Lo nggak bisa ngelawan atau nentang.” Jelas Visco. “Ya gua tau lo nggak suka ini, lo tersiksa, batin lo terluka, gua tau tapi mau gimana lagi.”
“Lo nggak tau kak karena lo ngejalanin hidup lo atas mau lo. Lo sekolah dikedokteran karena lo mau, dan Mama setuju. Tapi gua nggak kak, gua nggak mau. Ya gua mau asal gua nggak dihalangin keinginan gua.”
“Maksud lo?” Tanya Visco yang belum mengerti.
“Nanti juga lo akan tau pada saatnya, lo akan ngerti apa yang gua maksud. Untuk saat ini, gua cukup diem aja kak.” Kata Yuri lalu pergi dari ruang keluarga. Visco sebenarnya ingin tahu, tapi dia tahu sifat adiknya satu itu. Yuri tidak akan bicara walaupun dipaksa kecuali itu kemauannya sendiri untuk bicara.
Ya, belakangan ini ada kecurigaan Visco pada Yuri. Dia curiga dengan keadaan adiknya yang menghawatirkan. Rasanya Yuri sudah sebulan ini tidak teratur makan, cukup banyak murung, dan tidak bicara. Ya memang setahun belakangan sifat Yuri sudah mulai berubah perlahan tapi bulan ini adalah hal yang mengejutkan bagi Visco dengan perubahan adiknya. Dia tahu, ketika adiknya sedih, Yuri tidak akan menangis, dia hanya terdiam dan tidak bicara.
“Lo tau yang terjadi sama Yuri?” Tanya Visco pada Dion. Mereka berteman baik karena mereka dulunya satu SMU. “Gua ngerasa Yuri ada yang disembunyiin.”
“Yang gua tau Cuma masalah masa depan dia aja tapi rasanya ada hal lain. Dia nggak cerita sama gua.” Jelas Dion, dia justru heran mengapa Visco bertanya padanya. “Dia selalu bilang lelah sama kehidupan dia.”
“Sama, sering dia bilang itu tapi gua nggak tau alesan dia apa. Gua rasa ada yang dia sembunyiin dari kita semua bahkan bokap aja mulai menyadarinya.”
“Yang buat gua terkejut saat dia bilang dunia-nya akan dijalani tanpa jalannya. Gua nggak ngerti maksud dia apa.” Tambahi Dion. “Bukan Cuma itu, saat gua bilang supaya dia tetep kuat, dia malah bilang sekuat apapun semuanya udah nggak ada guna lagi.”
Keduanya saling memandang. Dion tidak mengerti kalau ternyata Visco sendiri menyadari perubahan itu. Ya, Dion selama ini hanya tahu keinginan dan tujuan Yuri tidak mendapat persetujuan Ibunya tapi rasanya ada hal lain yang disembunyikan Yuri.
“Pa, Yuri mau belanja. Ada uang kes nggak?” tanya Yuri di ruang tengah, Ayahnya hanya menggeleng.
“Kartu kredit kamu kemana?” tanya Ayahnya.
“Males ah Pa, ada dikamar. Didepan kamar ada Mama lagi baca majalah.” Jelas Yuri, ayahnya mengerti itu. Belakangan ini Yuri selalu menghindari Ibunya.
“Papa mengerti maksudmu. Baiklah Papa ambilkan diruangan kerja dulu.” Kata Ayahnya.
“Tapi uang kes ya Pa.” ucap Yuri mengingatkan.
Yuri disana, dia sendiri, melihat dunianya yang akan semakin kacau. Dia melihat orang-orang disekelilingnya. Disana dia melihat pasien-pasien rumah sakit. Tapi dia tahu, mereka hanya sakit fisik bukan sakit batin seperti dirinya.
“Aku disini hanya memeriksakan diri untuk tahu sudah sampai mana penyakitku tapi aku tidak berniat mengobatinya.” Jelas Yuri, dokter itu hanya menggeleng saja tidak banyak berkomentar.
Yuri berjalan keluar ruangan dokter, resep yang diberikan dokter dia buang ke kotak sampah. “Aku masih bisa hidup tanpa resep ini.” Kata Yuri santai.
Dia tahu itu bahaya tapi baginya itu hal biasa. Penyakit hatinya lebih parah, pikirnya dalam batin. Semua ini tidak akan membuatnya lemah, dia merasa diam akan membuat dirinya lebih baik.
“Yur, sumpah seneng banget gua hari ini. Akhirnya gua bener-bener yakin dia cowok terbaik dihidup gua.” Jelas Stevani, Yuri hanya tertawa kecil. “Hah lo mah nggak seru belakangan ini. Bener kata Dion. Lo lagi ada masalah.” Katanya lagi, Yuri tidak menjawab. Yuri tahu, dia salah tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu tapi dia tidak ingin membagi masalahnya pada orang lain. ‘mereka akan tahu pada saatnya dengan sendirinya’ kata Yuri dalam hatinya.
Hari ini Yuri tertidur dikamarnya, dia tenang dan mendengarkan musik, setidakya kali ini dia ingin menghilangkan pikiran kalau dia sakit kepala. Dia mencoba untuk tidak merasakannya tapi sakit pada kepalanya memang tidak tertahan lagi. Dia tahu itu tapi dia berusaha melawannya dengan diam dan tenang.
“Udah tidur lo dek?” Tanya Visco, Yuri diam dalam kamarnya. “Lo itu ngomong kenapalah? Gua tau emang dari dulu lo pendiem apalagi kalo ada masalah tapi lo dulu ceria dek walaupun diem.”
“Ini kamar gua kak. Sebaiknya lo diem kenapa. Kepala gua udah sakit mikirin dua bulan lagi Ujian Nasional kak. Gua minta tenang.” Kata Yuri sambil tersenyum pahit.
“Ya okelah. Kalo sakit bilang gua. Walaupun gua baru calon dokter siapa tau bisa membantu anda jelek.”
“Ya.” Kata Yuri singkat.
Visco berjalan kearah kamarnya tapi dia berpapasan dengan Ibunya. Sesaat Visco diam lalu dia duduk disofa bersama ibunya untuk berbincang. Ada hal yang ingin Visco bicarakan.
“Ma, Visco tau Yuri pinter tapi rasanya salah juga maksain dia untuk menjadi seorang dokter jika itu bukan kemauan dia.” Ucap Visco.
“Seharusnya Yuri tahu itu adalah rasa terimakasihnya untuk Mama jika dia mau mengikuti apa ucapan Mama.”
“Visco tahu itu Ma. Tapi apakah Mama tahu dia tidak menyukainya?” tanya Visco, ibunya tidak bicara lagi.
Yuri, pagi itu hari libur. Dia terbangun dengan leganya. Hari ini dia dapat menenangkan diri untuk tertidur seharian. Dia bangun dari tempat tidurnya tapi rasa sakit dikepalanya itu semakin terasa dan pandangannya kabur. Yuri kembali merebahkan diri ditempat tidurnya lagi lalu dia mencoba memejamkan mata, pikirnya itu akan menghilangkan rasa sakit itu. Tapi tidak, rasa sakit itu semakin dahsyat dan memasuki mimpi-mimpi buruknya setiap waktu.
“Pa, hari ini kan aku libur. Boleh nggak aku kerumah sakit liat Papa kerja?” tanya Yuri. Ya, ayahnya dokter dan pemiliki salah satu rumah sakit di Jakarta.
“Untuk apa kamu bertanya? Tanpa kamu izin pun, Papa akan mengizinkan.” Kata Ayahnya, Yuri tertawa. Martin mengira Yuri bosan dirumah tapi bukan itu alasan Yuri, bukan hanya itu saja. Dia ingin melihat orang-orang yang sakit itu, apa yang mereka rasakan, apakah sama dengan apa yang dia rasakan.
Kepalanya mulai terasa sakit yang tidak tertahan lagi. Yuri duduk disana, diruang kerja ayahnya, dirumah sakit. Dia manarik nafas. Penglihatannya mulai kabur kembali, rasa sakit itu menusuk-nusuk kepalanya, dan Yuri mencoba menghilangkannya untuk menutup mata lalu menarik nafasnya. Ya, sakit itu tidak hilang tapi setidaknya dia bisa tenang kali ini.
“Makan sianglah duluan, nanti Papa menyusul.” Kata Ayahnya, Yuri tidak menjawab. Dia diam saja sambil mengatur nafasnya. “Kamu sakit? Sebaiknya Papa memeriksa kamu.”
“Nggak perlu Pa. Yuri cuma panas dingin karena mau ujian. Dag dig dug rasanya.” Jelas Yuri, Ayahnya hanya tersenyum. “Baiklah. Rasanya pekerjaan Papa sudah hampir selesai, Papa bisa menemani kamu makan dikantin.”
Disana Yuri makan tapi ayahnya mulai menyadari ada hal yang disembunyikan Yuri.
“Kamu tau nggak?” tanya Yuri.
“Apa?” Dion ingin tahu.
“Kalau aku pergi dari kamu? Kira-kira siapa ya yang gantiin posisi aku?”
“Nggak ada. Yang aku mau Cuma kamu, bukan yang lain.”
“Gimana kalau yang misahin itu hidup mati kita?”
“Sayang, kenapa kamu ngomong kayak gitu? Tapi yang jelas aku pasrah, itu takdir tuhan kalau gitu dan aku akan selalu doa’in kamu.”
Yuri diam tidak banyak bicara, dia memandang Dion lekat seakan ingin kehilangan. Tapi Yuri sadar semua itu akan menjadi takdirnya, suatu hari nanti dia akan mati walaupun dia masih bisa bernafas.
‘saat aku ingin bicara pada dunia, tidak aka akan ada yang mendengarku. Aku tahu masih ada yang mempedulikanku tapi apakah mereka tahu, takdirku bukan ini. Kurasa Tuhan salah menakdirkanku disini. Kadang aku berpikir, rasanya aku lebih suka hidup menjadi seekor kupu-kupu yang dapat terbang bebas diangkasa dan hinggap dibunga-bunga indah. Semua ini bukan hidup yang aku inginkan. Awalnya aku kuat, aku diam atas perlakuan dunia ini padaku, aku bisa berdiri diatas kakiku karena aku tahu aku lahir dibumi ini karena Tuhan menakdirkan tapi setelah kusadari, aku rasa ini salah’ Kata Yuri dalam hatinya, dia selalu merasa seperti itu belakangan ini. Dia berusaha kuat untuk kesekian kalinya, dia berusaha berdiri diatas kakinya, dia selalu berusaha sampai akhirnya dia sadar usahanya percuma untuk hidupnya.
Dia berjalan, disampingnya dengan seorang cowok tapi itu bukan Dion. Siapa dia? Ya dia seorang cowok yang dipilihkan ibunya untuk Yuri. Rasanya ini tidak benar, Dion tahu Ibunya Yuri tidak setuju dengan mereka tapi tidak secepat ini. ada hal yang disembunyikan Yuri.
“Dek!” Panggil Visco sedikit kesal, Yuri tidak meresponnya. “Dek,” Visco lebih lembut.”
“Apa kakak bicara sama aku?” tanya Yuri sinis.
“Siapa lagi? Lo adek gua satu-satunya.” Ucap Visco. “Siapa yang nganterin lo pulang barusan? Kemana aja lo seharian? Dion nanyain.”
“Apa lo berhak kak nanya semua hal tentang gua? Apa lo bisa nganggep gua adek lo?”
“Lo kenapa? Otak lo udah diracunin siapa sampe-sampe lo ngomong gitu ke gua?”
“Asal lo tau kak, percuma gua hidup baik-baik kalo nggak ada gunanya, percuma gua bersikap baik sama Mama sedangkan Mama sendiri nggak pernah sayang sama gua, percuma gua hidup diatas kebohongan kak.”
“Lo bilang kalo ada masalah! Gua heran sama jalan pemikiran lo belakangan ini! Lo banyak berubah bahkan semua nilai lo turun padahal beberapa bulan lagi UN! Ada apa sama lo?!” Visco bicara dengan nada tinggi.
“Gua mohon kak. Kepala gua sakit denger lo terus-terusan ngomong, buat apa gua pinter? Buat apa gua belajar kalo nyatanya hidup gua nggak ada artinya? Hah! Udah nggak kuat otak gua untuk mikir lagi kak!” kata Yuri marah dan berjalan menuju kamarnya dengan sempoyongan. Pandangan matanya kabur bahkan dia mulai sulit untuk bicar lagi.
“Yur, lo,” kata Visco mencoba menghentikan langkah Yuri tapi Yuri berjalan saja, dia tidak mendengar suara Visco, yang dia dengar hanya suara dari kepalanya.
Dua hari ini Yuri tidak sekolah, dia membolos tapi dia juga tidak dirumah. Dimanakah dia? Tidak ada yang tahu. Dion sendiri bingung akan keadaan itu tapi dia juga tidak mau memberitahukan keadaan itu kepada keluarga Yuri, mereka akan khawatir jika mengetahuinya. Tapi dimanakah Yuri? Tidak ada yang tahu.
‘Rasanya mati atau hidup sama saja tapi mati lebih baik. Walaupun aku dineraka tapi batinku tidak akan tersiksa. Setidaknya dikehidupan ini yang aku rasakan, batin, fisik, mental, dan semuanya penyiksaan sendiri dalam hidupku. Aku ingin bebas! Aku ingin seperti orang lain yang tersenyum bukan hanya kepura-puraan belaka. Aku tidak ingin seperti ini tapi mungkin Tuhan sengaja membuatku seperti ini’ diatas bukit, Yuri menangis. Ini untuk pertamakalinya sejak beberapa tahun lalu dia menangis. Dia tahu ini salah, dia sadar dirinya mulai rapuh tapi inilah yang terjadi pada akhir hidupnya.
“Kamu menangis?” Tanya Dion yang sudah ada disana. “Awalnya aku terkejut ketika kamu berjalan dengan cowok itu. Ya harusnya aku marah tapi kurasa kau main-main dengannya. Bukankah dia seumuran denganmu? Dia teman sekolahmu?”
“Bukan. Sebaiknya kita akhirin aja hubungan kita. Aku ingin melihat kamu bahagia sebelum aku pergi. Sebaiknya kamu harus meninggalkan aku sejak saat ini. masih ada kehidupan didepan kamu.” Yuri meneteskan air mata. “Kamu pasti nggak akan marah tapi aku tahu kamu ingin satu alasan. Aku nggak akan menjawabnya karena pada saatnya kamu akan tahu.”
“Kamu benar. Aku nggak akan marah setiap apa yang kamu lakukan jika aku tahu, kamu memiliki alasan. Tapi ini, kamu nggak ada kalimat untuk membuat alasan.” Dion membiarkan Yuri bersandar dibahunya untuk kali ini. “Untuk pertama kalinya aku bisa ngeliat air mata itu. Aku persilahkan jika kamu ingin menjalani bersama cowok itu tapi aku akan tetap berdiri disamping kamu karena aku tahu, hati kamu masih milik aku.”
“Aku mohon, aku memohon untuk kali ini kamu harus pergi dari hidup aku, kamu harus mencari kehidupan lain, aku mau liat kamu tersenyum bukan untuk aku, kamu tersenyum buat orang lain, aku mohon, aku mohon.” Yuri terus meneteskan air matanya, pipinya sudah terbanjiri tapi Dion tidak menghapus air mata itu. Dia senang bisa melihat air mata dari Yuri walau itu menyakitkan. “Aku ingin pergi dengan perasaan tenang. Setidaknya aku bisa membawa senyum kamu dan tidak bersalah membuatmu terluka.”
“Aku akan tetap berdiri disamping kamu. Ya, aku sadari selama ini kamu nggak banyak bicara, nggak banyak cerita tentang hidup-kehidupan-kamu tapi aku tahu, kamu memiliki tekanan batin.” Dion tersenyum pada kekasihnya itu. “Benarkah ucapanku? Apakah mungkin aku harus meninggalkan cintaku dalam keadaan seperti ini? Itu nggak akan pernah terjadi.”
“Tapi aku yang memintanya. Jika kamu ingin melihat aku bahagia, ingin melepaskan rasa bersalahku, ingin melihat aku tenang, tinggalkan aku dan jangan berdiri dikehidupanku lagi. Aku mohon demi aku, demi cintaku padamu, dan jika kamu mencintaiku, aku mohon sekali lagi tinggalkan aku.” Yuri terus memohon dan Dion yang kekeh akhirnya diam, dia pergi meninggalkan Yuri.
“Baiklah, akan aku biarkan kamu bersama siapapun. Aku nggak akan berdiri lagi disamping kamu dan akan aku coba jalanin hidup baru. Asal kamu tenang, rasanya cukup bagiku, tapi asal kamu tau hati ini tetep untuk kamu selamannya.” Langkah Dion mulai menjauh.
“Aku mohon tersenyumlah bukan untukku lagi.” Kata Yuri, Dion tidak bicara dan semakin menjauh.
Cowok itu sadar, ada yang disembunyikan Yuri. Tidak pernah Yuri menangis, tidak pernah seperti ini dan tidak pernah Yuri memohon padanya sampai seperti ini. Dion tidak ada pilihan lain kecuali mengabulkan pemohonan wanita yang dicintainya. Jika hal itu membuat Yuri tenang, akan dia lakukan. Tapi satu hal, Dion akan selalu menjaga Yuri walaupun tidak lagi disampingnya setiap saat. Yang dia tahu, ada alasan besar untuk Yuri seperti ini.
“Papa ingin bicara.” Kata Ayahnya malam itu. Yuri duduk diruang kerja ayahnya, dia tahu apa yang akan dibicarakan. “Papa dipanggil oleh sekolahmu, apa seminggu ini kamu tidak masuk sekolah?” tanya Martin, Yuri mengangguk. “Papa dengar nilai kamu menurun bahkan juara umum yang biasanya kamu dapatkan telah lepas dari tangan kamu. Benarkan itu? Papa minta kejujuran kamu.”
“Iya Pa,” Yuri mengangguk. “Tapi ada alesan tersendiri untuk Yuri ngelakuin itu dan saat ini rasanya Papa nggak wajib tau.”
“Sayang, adakah yang ingin kamu bicarakan? Apa kamu merahasiakan sesuatu?”
“Iya Pa tapi pada saatnya nanti, Papa akan mengetahuinya. Aku lelah Pa disini dan ingin merasakan kehidupan baru.” Jelas Yuri sambil tersenyum dan keluar ruangan ayahnya. Martin mencurigai sikap Yuri yang tidak biasa-biasanya tapi dia sadar, anaknya tidak ingin diganggu. Pikirnya mungkin Yuri sedang ada masalah hati atau yang lain dan satu-dua hari akan hilang tapi pikiran itu musnah ketika Martin ingat perkataan Yuri bahwa dia lelah. Rasanya kata-kata itu memiliki arti berbeda.
Dia mulai sekolah seperti biasanya tapi itu lebih buruk. Yuri dikelas hanya diam, tidak banyak memperhatikan pelajaran, dia terlalu memikirkan rasa sakit pada kepalanya dan untuk menghilangkannya dia lebih baik diam, itu membuatnya lebih tenang. Bukan hanya itu, pikirnya percuma dia pun sudah melihat kabur-kabur tulisan itu.
Yuri duduk disamping Stevani, dia merasa mual dan ingin muntah tapi dia menahannya untuk kesekian kali dengan permen. Dia merasakan sakit kepala itu terus menerus tapi dia menahannya dengan diam. Dia terkadang kesulitan berjalan dengan baik tapi dia menutupinya dengan duduk tenang ataupun tidur. Dan terkadang dia tidak bisa mendengar orang bicara apa padanya, dia berada pada posisi lebih baik menjadi patung.
“Yur, lo sakit?” tanya Stevani, Yuri menggeleng. “Penglihatan gua, lo baik-baik aja nggak sakit tapi apa hati lo yang sakit?” Tanya Stevani lagi tapi Yuri tidak menjawabnya. Sudah sering seperti ini Yuri tidak pernah menjawab sama sekali pertanyaan Stevani tapi Stevani selalu memaklumi. Dia yakin Yuri memiliki alasan kuat untuk semua ini.
Empat hari Ujian Nasional berlangsung tapi yang Yuri lakukan adalah kegilaan diluar batas. Dia tidak membaca soal, dia mengisinya sesuka hati dan lembar jawaban itu hanya setengah saja yang diisi. Pihak sekolah memanggilnya tapi Yuri hanya tersenyum dan pertanyaan guru-guru itu tidak didengarkannya. Baginya, terlalu sakit untuk memikirkan itu diotaknya.
Dion sudah benar-benar hilang dari hidupnya. Cowok yang selalu menghiburnya sudah tidak ada lagi dan dia ingin Stevani, sahabatnya-pun tidak lagi disinya. Dia ingin sendiri, lebih tenang tanpa seorang-pun disampingnya. Ini salah tapi bagi Yuri ini benar.
Namun Dion, dari jauh masih menjaga Yuri, menatapnya dan selalu menulis nama Yuri dihatinya. Itu tidak akan pernah terhapus oleh siapapun. Cinta Dion tulus untuk Yuri, tidak akan pernah berubah, itu janji Dion.
“Gua bingung sama Yuri, gua yakin ada yang dia sembunyiin tapi dia nggak mau cerita sama gua. Gua jadi sedih ngeliat dia kayak gini.” Jelas Stevanie pada Dion ketika keduanya makan siang disebuah rumah makan dekat sekolah Stevani. “Hari ini terakhir UN, gua nggak tau tadi Yuri buru-buru mau kemana tapi yang gua tau otak dia udah nggak beres.”
“Maksud lo gimana?” tanya Dion.
“Lo tau dari dulu Yuri juara umum, dia pinter tapi selama ujian dia ngelakuin kegilaan. Dia sama sekali nggak baca soal, dia sama sekali nggak mikir, dia cuma bullet-bulettin jawaban dia asal-asalan dan terlebih nggak sampe setengahnya yang dia isi.” Jelas Stevani, Dion terkejut. “Ada yang aneh kan?”
“Gua kira ini karena dia nggak mau masuk kedokteran tapi rasanya ada alasan lain. Gua nggak tau itu Stev, gua juga bingung dan untuk dateng kehadapan Yuri rasanya nggak mungkin, dia butuh ketenangan.”
“Lo tau cowok yang sekarang jalan sama Yuri?” tanya Stevani, Dion tersenyum pahit seakan mengatakan iya. “Yuri bisa senyum setiap dijemput itu cowok tapi gua tau itu semua palsu.”
“Sudahlah Stev. Yuri memintaku agar membiarkan dia tenang, jika itu mau-nya biarkanlah asal dia bahagia. Dia bilang sebentar lagi kita semua akan tahu mengapa dia seperti ini.”
Dia dirumah sakit, maksudnya Yuri dirumah sakit. Bukan rumah sakit Ayahnya tapi rumah sakit lain. Dokternya yang juga teman ayahnya bersama Yuri saat itu.
“Ini jam makan siang dok,” kata Yuri diruangan dokter itu. “Apa sebaiknya dokter nggak makan siang?” tanya Yuri, dokter itu tersenyum. “Baiklah, tapi aku akan bicara dengan jam makan siang dokter. Apakah aku diizinkan?”
“Saya mengatakan ini bukan sebagai doktermu tapi sebagai teman ayahmu. Apa tidak sebaiknya kamu menjalani pengobatan?” tanya dokter itu.
“Sekarang aku mau nanya sama dokter dulu. Dokter lebih memilih hidup dengan tekanan dan siksaan batin atau memilih hidup tenang?”
“Tentunya hidup tenang.” Kata dokter itu singkat yang sudah dapat menebak pikiran Yuri.
“Ya itu alasanku tidak ingin menjalani pengobatan. Aku hanya ingin tahu sudah berjalan sampai mana saja. Tidak lebih.”
“Saya memberikan jempol untukmu. Rasanya ini tidak mungkin, kamu masih bisa berdiri dan tersenyum disini padahal pasien sepertimu akan selalu mengeluh dan kesakitan. Apakah kamu tidak tersiksa akan semua ini? Saya tidak yakin kamu memikirkannya.”
“Yah dokter bicara disini bukan sebagai dokter, jadi aku bisa bertanya apapun yang bukan mengenai penyakitku.” Kata Yuri, dokter itu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “Aku bisa menahan rasa mualku dengan permen, aku bisa menahan rasa sakit kepalaku dengan diam, aku bisa menutupi kerapuhanku dengan duduk tenang dan tertidur lelap. Untuk apa aku menjalani pengobatan ini jika aku masih bisa menahannya?” Ucap Yuri, dokter itu hanya menggeleng saja tidak bisa banyak berkata-kata karena dia berbincang bukan sebagai dokter melainkan teman ayahnya Yuri.
“Saya baru kali ini menemukan seseorang sekuatmu dan bisa tersenyum, tenang dalam keadaan seperti ini. Tapi, saya merasa ada hal yang membuat kamu seperti ini dan lebih menyakitkan bukan?”
“Ya, benar sekali. Aku nggak bisa mengelaknya.” Jawab Yuri. “Bukankah dokter teman ayahku sejak SMA dan lulus dari kedokteran bersama kan?” Tanya Yuri, dokter itu tidak menjawab. “Berarti dokter tau siapa ibu kandung aku kan? Sejak kecil aku merasa wanita yang bersamaku bukan ibuku, dia tidak pernah bersikap baik padaku, dia tidak pernah melukaiku tapi dia menyiksa batinku dengan ucapannya, aku pikir itu bentuk rasa kasih sayang seorang ibu.” Ucap Yuri lalu mengambil nafas dan melanjutkan ceritanya lagi. “Aku selalu dibandingkan dengan kakakku tapi aku menerimanya karena kurasa kami saudara. Aku menyayangi Visco sebagai kakakku. Tapi orang yang selama ini aku panggil Mama tidak pernah sekalipun tulus menyayangiku, dia akan baik padaku jika ada Papa. Ya selalu seperti itu sampai detik ini. Saat kecil aku kira dia ibu tiri tapi pikiranku hilang ketika banyak orang kalau seorang ibu galak karena dia sayang. Tapi tidak, aku menyadari dua tahun lalu dia bukan wanita yang melahirkanku.” Jelas Yuri dengan tenangnya.
“Kamu sudah mengetahuinya? Apakah ayahmu yang memberitahukannya?”
“Nggak. Aku tahu dengan sendirinya.”
“Ini alasanmu?” Tanya dokter itu.
“Mungkin iya dan mungkin juga tidak. Aku tidak mengerti. Kuikuti permintaan wanita yang aku panggil Mama itu setiap saat, bahkan saat aku sudah tahu siapa dia, aku seperti bonekanya yang mengikuti apa perkataannya. Kadang aku ingin bicara pada Ayahku, aku tersiksa dan lebih baik mati. Tapi, aku lebih baik diam karena aku tidak ingin membebani ayahku. Dia begitu menyayangiku dan aku tidak ingin dia merasa bersalah karena aku menyembunyikannya selama bertahun-tahun.” Jelas Yuri sambil tersenyum pahit, dia menahan tangisnya. Entah mengapa Yuri bercerita hanya pada dokter ini, bukan pada orang lain. Dia pikir ketika dia tenang, dokter ini akan menceritakan pada ayahnya tentang kebahagiaannya. “Saat aku masih umur 14 tahun, saat itu aku menangis setelah mendapat perlakuan kasar wanita itu. Papa melihatku dan memintaku bercerita. Aku lihat dia khawatir, marah pada wanita itu, dan sedih melihatku. Ayah mengatakan akan menceraikan wanita itu jika dia menyakitiku. Lalu aku katakana, aku yang salah. Yah, aku tidak ingin berada pada keluarga yang hancur. Aku tahu masih ada ayahku yang menyayangiku.”
“Mengapa kamu menceritakannya pada saya?”
“Karena suatu saat jika aku tenang nantinya, dokter akan menyampaikan begitu sayangnya aku sama Papaku.” Yuri tersenyum cerah mendadak dan dokter itu justru meneteskan air mata.
“Apakah Visco tahu?”
“Dia hanya tahu aku tidak behubungan baik dengan wanita itu. Yah, ketika ada Visco, wanita itu diam. Aku tidak mengerti ketika itu tapi sekarang aku mengerti.” Tambahi Yuri. “Rasanya sudah habis jam makan siang dokter dan sekarang anda diposisi dokter lagi. “Hah leganya aku sudah bercerita dan mungkin aku akan tenang.” Kata Yuri lalu beranjak meninggalkan ruangan dokter itu.
“Bukankah beberapa hari lagi ulang tahun ayahmu?”
“Benar sekali dok dan juga kelulusanku setelahnya. Aku mulai lega.” Yuri tertawa ceria lalu dia menghilang dari ruangan itu.
Dia ada disana, dirumah sakit ayahnya membawa kue ulang tahun untuk ayahnya. Diciumnya pipi ayahnya hari itu. Dipeluknya ayahnya itu dan dia menangis.
“Aku bahagia Pa, semoga Papa panjang umur dan selanjutnya Papa akan baik-baik aja tanpa aku.” Kata Yuri.
“Kamu sudah mau lulus SMA dan apakah akan jauh dari Papa?” tanya Ayahnya, Yuri menggangguk lalu memeluk ayahnya lagi. “Bukankah besok kelulusanmu? Papa membiarkanmu memilih jalanmu tanpa paksaan.”
“Benarkah itu Pa? Apapun itu?”
“Ya Papa tahu kamu tidak ingin menjadi dokter. Pilihlah jalanmu, jalan yang kamu suka, yang membuatmu bahagia.”
“Wah yang ulang tahun Papa kok yang dapet hadiah aku sih? Ini hadiah untuk kelulusanku Pa?”
“Ya.” Ayahnya tersenyum.
“Hm padahal aku belum nyiapin hadiah buat Papa-lah.”
“Papa tau kamu sibuk. Papa maklumi itu dan Papa nggak butuh hadiah, yang Papa inginkah adalah kebahagiaan kamu.” Martin kembali memeluk Yuri.
Pengumuman kelulusan tinggal detik-detik terakhir. Yuri masih di wc sekolah, dia mual-mual dan muntah-muntah lagi, dia tidak kuat untuk berjalan. Semuanya terasa sakit tapi Yuri harus kuat hari ini, hanya untuk hari ini. Sudah cukup dia terus menutupi ini dari Ayahnya, teman-temannya, dan semua orang yang disayangi. Kali ini dia tidak sanggup untuk menutupinya lagi tapi masih ada waktu untuknya sekedar tertawa pada teman-temannya merayakan kelulusan.
“Yur,” Kata Stevani. “Lo baik-baik ajakan?” tanya Stevani, Yuri tidak menjawab.
Yah, semua disekolah lulus kecuali Yuri. Nilainya bahkan ada yang satu koma sekian. Itu benar-benar mengejutkan. Seorang siswa yang dikenal pintar bisa mendapatkan sesuatu yang terburuk. Tapi tidak bagi Yuri, dia tersenyum. Ditengah lapangan dia berjalan, orang-orang memberikan jalan dan melihatnya yang tersenyum ceria seakan dia lulus. Yuri pulang dan disambut keluarganya kecuali ayahnya yang sedang dirumah sakit. Diberikan surat itu pada Visco, kakaknya dan seketika Visco lemas melihat semua itu.
“Dek, lo becanda kan?” tanya Visco, Yuri menggeleng sambil tertawa kecil.
“Bukankah ini lucu? Gua seneng banget sama hasil gua kak.” Jelas Yuri tersenyum ceria lalu Ibunya menamparnya. Dia merasa marah beserta malu tapi tamparan itu justru diterima dengan senyuman oleh Yuri.
“Hah tamparan ini sering aku dapat jadi untuk apa aku kesal? Lebih baik aku tersenyum bukan? Selama ini Mama tidak pernah membuatku tersenyum, itu hanya palsu, kau berdiri diatas kebohongan. Memang kau tidak pernah melukaiku secara fisik, tamparan dan pukulan itu tidak melukaiku tapi aku tidak pernah melawanmu walau hatiku sudah retak.” Kata Yuri tersenyum kembali. “Namun kali ini untuk terakhir kalinya kau melakukan ini. Bahkan kau tidak berhak menyentuh kulitku sedikitpun! Kebohonganmu rasanya sudah cukup sampai disini. Kau tidak berhak memarahiku, darahmu tidak mengalir ditubuhku jadi apa hak-mu melakukan itu semua? Apa hak-mu?” Yuri menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Wanita itu hanya diam tidak bicara sedikitpun.
“Dek, sejak kapan?” Tanya Visco.
“Lo baik kak, lo kakak gua tapi mungkin gua lebih seneng jika Tuhan nakdirin gua nggak ketemu lo dan wanita ini. Mungkin hidup gua akan lebih baik.” Kata Yuri santai lalu duduk disofa, pandangannya mulai kabur lagi dan dia tidak bisa berdiri lebih lama, kepalanya terlalu sakit.
“Kau tidak ada hak mengatur hidupku, menyiksaku lebih lama lagi, cukup sudah aku menahannya sejak aku tahu semua ini. Sudahlah, kau bukan siapa-siapa dihidupku lagi dan aku akan menjauh darimu, dari tekanan batinku.” Kata Yuri lalu berdiri dan menuju kamarnya.
“Apakah yang dikatakan Yuri benar!” Martin datang begitu marahnya, dia sudah ada disana sejak awal, dia mendengar semuanya dan tidak menyangka akan apa yang didengarnya, kejutan yang dibawanya untuk Yuri sudah tidak ada gunanya lagi. Yuri yang mendengar Ayahnya marah hanya diam dan tetap jalan menuju kamarnya. “Aku tidak menyangka kau melakukan ini pada anakku!” kata Martin lalu mengejar Yuri kekamarnya.
“Sayang,” panggil Martin.
“Masuk aja Pa, nggak dikunci.” Kata Yuri yang sedang duduk didepan komputer. “Ada apa Pa?”
“Kamu menyembunyikannya dari Papa sayang?” Martin memeluk anaknya tersebut, dia sedih dan khawatir dengan keadaan putrinya tersebut. “Kamu baik-baik saja sayang?”
“Ya Papa, aku baik-baik saja. Aku nggak sakit kok Pa, tenang aja dan besok aku akan bisa tersenyum buat Papa. Setidaknya aku lepas dari wanita itu yang selama ini membuat batinku tersiksa. Aku lega sudah mengatakan semuanya. Aku tidak ingin besok bertemu dia kembali Pa.”
“Iya sayang. Papa akan memastikan kamu tidak akan melihatnya besok pagi. Papa menyayangimu. Kecurigaan Papa benar. Dulu kamu cerewet dan beranjak dewasa kamu mulai pendiam, Papa sudah mencurigainya hati kamu terluka.”
“Udahlah Pa, nggak usah dibahas. Aku sudah dapat memastikan juga kok besok nggak akan ngeliat wanita itu lagi. Hah lega banget. Em Papa nggak marah kan soal hari ini?”
“Nggak sayang. Papa nggak akan pernah marah sama kamu. Masih ada ujian susulan.”
“Nggak ada ujian susulan deh kayaknya Pa. Hehe becanda.” Yuri tertawa lalu mencium pipi ayahnya. “Yuri mau tenangin diri Pa hari ini. Besok pagi Papa bisa liat senyum Yuri lagi kok.”
“Baiklah sayang.” Martin kembali memeluk anaknya, dia tahu harus membiarkan Yuri untuk tenang, Yuri butuh ketenangan sesaat. “Besok kamu tidak perlu menyapa wanita itu.”
“Baiklah. Janji ya Papa jangan khawatir, Yuri akan tenang kok besok pagi. Janji.” Yuri tertawa
Dia membuka dokumennya, dokumen rahasia yang selama ini dia beri pasword. Tulisan-tulisan mengenai hidupnya. “Rasanya akan aku selesaikan. Aku harap besok pagi sudah selesai.” Kata Yuri pada dirinya sendiri. Tulisan-tulisan itu cerita hidupnya sejak dia kecil sampai akhirnya seperti ini.
Semalaman Yuri tidak tidur, dia terus menulis demi mencapai targetnya untuk selesai dan pukul empat pagi dia menyelesaikannya. Yah, ayahnya tertidur disofa yang disiapkan didepan kamar Yuri. Dia masih khawatir dengan keadaan anaknya.
Tulisan itu dia pindahkan ke blog-nya, dia terbitkan untuk memberikan jawaban kepada orang-orang yang disayanginya. Kepada Dion khususnya dan juga Stevani.
“Dion!” Teriak Stevani ditelfon. “Lo udah liat entri baru dib log-nya Yuri?”
“Semaleman gua nggak tidur. Gua khawatir sama Yuri, dan ini udah separo gua baca. Siapa tau karena dia nggak lulus curhat lewat jejaring sosial, gua liat facebook, twitter, dan yang lainnya sepi-sepi aja tapi ini dia lagi cerita di blog-di-di-blog-nya.” Kata Dion terbata-bata ketika hampir selesai membaca curhatan Yuri.
‘Ketika kalian selesai membacanya, aku sudah tenang. Aku tidak pergi karena penyakitku tapi aku menenangkan diri. Aku harap kalian langsung membacanya dan aku ingin kalian langsung datang memberikan selamat padaku, memberikan pesta untukku dengan membawa rangkaian mawar putih. Aku sudah tenang disini, bersama awan biru, rayakanlah dan datang padaku untuk memberikan bunga itu’ kata Yuri ditulisan paling bawah sebagai tambahan.
“Lo udah baca kan? Gua udah didepan ruamh lo. Keluar dan mawar putihnya udah gua bawa.” Kata Stevani.
Mereka disana, dirumah Yuri pagi buta.
“Om maaf mengganggu.” Kata Dion dengan wajah sedih dan tanpa harapan.
“Sepagi ini kalian ada disini?” tanya Martin. “Ada hal yang begitu mendadak?”
“Ini permintaan Yuri untuk merayakan suatu hal om.” Jelas Stevani.
“Ngapain kalian pagi buta disini? Biarin Yuri tidur.” Kata Visco marah karena dia merasa mereka mengganggu Yuri.
“Maaf kak. Ini permintaan Yuri. Pintu kamarnya dikunci nggak kak?” tanya Stevani yang tidak bisa menahan air matanya.
“Masuklah jika itu permintaannya.”
Keduanya perlahan membuka kamar Yuri. Suasana tenang, mereka tidak mengganggu. Martin dan Visco menunggu diluar, mungkin saja Yuri ingin bercerita pada mereka.
Diletakkan mawar putih itu disamping Yuri yang sedang tertidur dengan tenangnya. Mereka meneteskan air mata sambil tersenyum, itulah permohonan Yuri agar mereka tetap tersenyum. Jawaban-jawaban itu sudah mereka temukan. Mengapa Yuri diam, megapa Yuri berubah dan bersikap aneh ternyata dia membutuhka ketenangan. Ketenangan itu sudah dia dapat.
“Akhirnya lo bisa tenang. Gua ngerti setelah baca cerita lo. Gua harap dengan ini lo tenang disana. Kita selalu doa’in yang terbaik buat lo.” Ucap Stevani menangis. Martin belum menyadari akan hal itu, begitupun Visco.
“Sayang, yah kamu tahu perpisahan kita seharusnya nggak seperti ini tapi kamu-pun tahu aku pernah mengatakan kalau ini takdir tuhan, akan aku terima dan doa’ku selalu untukmu. Asal kamu tahu, cintaku sampai detik ini masih padamu.” Lalu Dion mencim kening Yuri.
“Yuri ada didalam?” Tanya dokter yang tahu penyakit Yuri dan juga teman ayahnya.
“Ya, ada apa kamu kemari?” tanya Martin. “Apakah kamu tahu dia tidak lulus?”
“Bukan!” kata dokter itu. “Aku khawatir dengannya. Semalaman aku tidak bisa tidur kerena dia bilang ketenangannya setelah ulang tahunmu dan pengumuman kelulusannya.”
“Maksudmu?”
“Lihatlah blog anakmu. Dia selalu membuatku tidak bisa tidur sejak beberapa hari lalu. Bukan karena dia pasienku tapi karena dia anakmu dan karena ketegarannya.”
“Aku tidak mengerti.” Kata Martin tapi dokter itu mengabaikan dan langsung ke kamar Yuri dengan membawa mawar putih.
“Selamat.” Kata dokter itu pada Yuri yang terbaring dengan senyumnya.
“Mengapa ada darah? Yuri? Kamu diam saja? Yuri.” Martin memandang anaknya yang sudah pucat dan penuh darah ditangannya. Bagaimana bisa? Semalaman dia menjaga Yuri didepan kamarnya dan tidak ada suara Yuri sedikitpun yang kesakitan. Bagaimana bisa?
“Lihatlah om. Dia begitu tenang dan tersenyum. Rasanya semua keinginan Yuri sudah terpenuhi, dia hanya ingin hidupnya tenang.” Jelas Stevani sambil tersenyum dengan air matanya. “Tuhan nggak ngabulin permintaan dia untuk kembali disisinya dan pada akhirnya, Yuri datang sendiri kesisi Tuhan.”
“Kamu pasien terbaik yang pernah saya temui. Tuhan pasti menerimamu disisinya.” Kata dokter itu.
“Apa arti semua ini? Apa ini sebuah drama? Apa artinya?” Martin meneteskan air mata. Dia langsung terduduk dilantai, menatapi Yuri yang sedang tidur tenang tapi tidak ada hembusan udara dari hidungnya.
“Sayang, izinkan aku membersihkannya.” Ucap Dion yang juga sedih. Dia membersihkan darah pada tangan Yuri. Sakit rasanya tapi bagi Dion inilah jawaban atas semuanya. Dan pikir Dion, ini lebih baik dari pada wanita yang dicintainya itu hidup tapi tidak pernah tenang. “Aku akan membiarkanmu disana. Kamu selalu bilang lelah dan ingin tenang. Disana kamu akan tenang, akan banyak yang menjagamu, akan banyak yang menyayangimu lebih dari pada saat kamu disini.”
“Ada apa ini?” Tanya Visco. “A…ap..apa yang terjadi?” tanya Visco lagi didekat pintu kamar Yuri. Dia langsung lemas dan tidak banyak bicara lagi.
Pagi itu Yuri-pun langsung dimakankan karena itu permintaannya. Dia ingin segera tenang dirumah barunya, rumahnya yang abadi, rumahnya yang menenangkan hatinya, rumah barunya yang sejuk dan selamanya dia tidak akan tersakiti.
“Aku tidak pernah menyangka ini.” Kata Martin pada dokter itu. “Mereka bilang Yuri menuliskan kisahnya diblog-nya tapi aku tidak berani membukanya.”
“Harusnya kau sadar betapa besar cinta Yuri padamu. Dia anak yang baik.” Kata dokter itu.
“Aku lupa menanyakannya. Kau memang mengenal Yuri tapi sebelumnya kau bilang dia pasienmu. Bisa kau jelaskan?”
“Lihat-lah blog-nya setelah itu akan aku perjelas lebih banyak. Kau yang dokter saja tidak mengetahui penyakit anakmu, rasanya hidup Yuri begitu menyakitkan dan ini jalan terbaik untuknya pergi.”
Mereka disana, teman-teman Yuri dan mereka membawa mawar putih serta ucapan selamat untuk Yuri. Itu semua permintaan Yuri karena mereka-pun tahu apa alasan Yuri seperti ini. Hidupnya akan lebih baik disisi Tuhan ataupun dineraka, setidaknya hatinya tidak tersakiti.
Martin lebih sadar lagi ketika melihat cerita Yuri pada blog-nya dan dia tidak pernah menyangka dengan apa yang dia baca. Tapi, itulah yang harus diterimanya. Ini sudah keputusan Yuri untuk mencari ketenangan pada dunia lain. Dokter itupun membantu penjelasan dan pada akhirnya hanya ada penyesalan yang terjadi.
‘selamat tinggal cinta, kan kubawa kau sampai kesurga. Aku mencintaimu dan cintaku hanya untukmu, cinta. Tahukah kamu akan itu? Kamu tahu dan aku tenang telah membawa hatiku yang pernah mencintaimu’ Yuri tersenyum ditengan perjalanannya menuju rumah barunya.
“Akan kubiarkan kamu tinggal dihatiku sayang. Alasanmu, semua jawabanmu tentang pertanyaan itu dapat aku mengerti. Rasanya benar, kamu lelah dan maafkan aku telah membuatmu banyak berpikir. Seharusnya aku tidak membebani pikiranmu. Kurasa kepalamu sakit akan itu. Kubiarkan kamu disana sayang, kamu akan bahagia bersama pada malaikat-malaikat yang akan menjagamu.” Dion tersenyum sambil melangkah meninggalkan makam Yuri. Dia masih disana sampai malam tiba, dia baru pergi. “Aku yakin kamu masih disini tadi melihatku. Kamu pasti disini, dihatiku dan disana kamu memandangku. Janjiku akan kau lihat, aku akan tersenyum untuk orang lain selain dirimu. Tapi sayang, jujur namamu akan selamanya dihatiku dan disurga kita akan dipertemukan dalam satu cinta.” Dia melangkah, menjauh dari makam Yuri dengan senyuman yang berat. Itu semua demia Yuri, untuk cintanya dan untuk hatinya selamanya.

--TAMAT--

*Martin=ayahnya
Dion=pacar
Yuri=tokoh
Stevani=sahabat
Visco=kakaknya


Bingung gua mau ngasih judul apa :(

Hey orang-orang yang saya kenal, baca ya TULISAN di bawah ini sampai selesai dan kasih komentar tentang tulisan saya ini, bagus apa jelek apa berantakan dari segi makna dan bahasa. Terus maknanya blh di komentari juga kok : )
*

Aku memandang hidup dari banyak sisi tapi satu hal yang aku tahu, apa yang tergerak di otakku, itulah yang aku lihat.
Dalam hidup ada satu hal yang menjadi pertanyaanku, mengapa bumi ini bulat? Bukankah itu merugikan? Dimana kita akan lari, percuma karena pada satu titik bertemu juga. Mengapa tidak kotak? Bukankah sulit untuk mencari? Ya itu benar tapi kata otakku, sudahlah jangan kau tanyakan lagi semua itu. Percuma bagimu mempertanyakannya, kau tidak akan mendapat jawaban yang sesuai dengan isi hatimu.
Ketika aku berjalan, aku melihat begitu banyak sekali perbedaan di kehidupan ini, begitu banyak sekali perdebatan, dan begitu banyak hal-hal yang belum aku mengerti.
Kadang kala ketika aku berjalan, aku biasa saja, tidak berpikir apa yang aku lihat di perjalanan. Tapi kadang kala akupun bertanya, mengapa manusia harus berbeda? Mengapa setiap manusia memiliki masalah berbeda? Dan mengapa mereka harus hidup?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan satu, dua, tiga, ataupun empat tapi ribuan pertanyaan pada kehidupan ini bertaburan di otakku.
Ku mulai dari lingkungan yang tidak jauh dariku.
Akankah kalian pernah melihat sebuah bola basket? Bola bekel? Atau bola-bola yang dapat di pantulkan. Aku kira itu bola biasa tapi itu sama hal-nya dengan bumi dan kehidupan ini.
Jika kamu lihat semakin asik memainkan bola tersebut, maka semakin banyak pantulan-pantulan dari bola itu. Jika kita dalam keadaan senang, bahagia, semakin banyak rintangan-rintangan yang datang. Atau juga semakin kita hidup lama, semakin banyak tekanan-tekanan di hidup. Semakin tua keadaan bumi ini, semakin banyak goncangan jiwa manusia. Sama saja bukan?
Semua hal tidak ada yang menarik jika diam tapi jika kita mengikuti permainan di hidup ini, kita akan merasa penasaran dan ingin melanjutkan permainan itu sampai akhir.
Akankah kamu pernah berpikir apa akhir hidup kamu? Ya kamu pasti sering kali memikirkannya, menghayalkannya tapi apakah itu akan sesuai dengan hidupmu? Tentunya tidak, itu tergantung bagaimana kamu menjalani kehidupan kamu dan yang lebih penting semua itu tergantung takdir. Bukankah benar kataku?
Saat kamu mengalami satu kesulitan dalam hidup, yang kamu lakukan untuk PERTAMA kalinya adalah berpikir untuk keluar dari kesulitan itu. Ya itu pikiran sekian banyak orang tapi ada juga yang menyelesaikannya dengan cara diam, tanpa berpikir, dia rasa semua masalah akan pudar seiring berjalannya waktu. Tapi itu pilihan untuk masing-masing orang. Aku sendiri memilih tenang tapi berpikir dan bertindak jika sudah saatnya.
Oh iya kadang di hidup ini ada penyesalan kan? Ya pastinya tapi tidak denganku. Aku tidak akan pernah menyesali apa yang terjadi pada hidupku jika itu pilihanku, kemauanku, dan tujuanku. Tetapi jika itu bukan kemauanku, tujuanku, dan pilihanku, maka aku akan amat sangat menyesalinya seumur hidupku.
“Cuma satu kali La kesempatan lo saat ini.” Kata seorang temanku tapi aku hanya tersenyum. Lalu dia bekata lagi, “lo nggak nyesel tah?” tanyanya.
Aku pun menjawab, “Ngapain gua nyesel, ini pilihan gua, gua nggak akan pernah nyesel dengan pilihan gua dan jawaban gua.” Kataku santai.
Ada beberapa orang, atau bahkan lebih yang mengatakan sifatku egois. Ya aku akui semua itu, aku memang egois dan pemarah tapi semua itu memiliki dasar mengapa aku seperti itu.
Pernah aku mengalami satu kesulitan dimana beberapa orang, salah, banyak orang yang memandang sinis padaku tapi aku santai seakan tidak ada masalah. Aku tahu ketika itu orang-orang beranggapan aku membatu, aku tidak memiliki hati yang bisa sakit hati. Tapi TIDAK, aku tidak seperti itu. Aku tahu mereka bicara, aku merasa sakit hati tapi aku lebih suka mengikuti kata hatiku bahwa aku harus tenang dan seakan semua ini bukan masalah.
Ku pikir diamku menyelesaikan masalah, tapi tidak, semua itu begitu-begitu saja, tidak tambah rumit atau kelar masalah. Ya di situ-situ saja. Aku bicara pada mereka, ya sedikit ada emosi dan mengucapkan kata-kata dgn nada tinggi tapi jujur aku lega melakukan itu. Kurasa ini bukan saja salahku, ini salah mereka dan dgn sedikit kekesalan, kami mulai menyapa walaupun belum ada kata damai.
Aneh kan?
Ku bahas lagi tentang sifat egoisku. Aku hanya egois ketika waktu-waktu tertentu saja yang kurang ku sukai.
Kadang kala ada saatnya kita egois, bukankah benar? Kamu pasti pernah sesekali bersikap egois demi pemikiran kamu sendiri? Benarkah ucapanku?
Wajar saja sifat manusia memang ada sedikit persentase mengenai sifat egois. Boleh dibuktikan? Tidak perlu rasanya, kamu dapat menilainya sendiri.
ITULAH hidup, kadnag kala kita tidak mengerti dengan berbagai macam hal yang ada di dunia ini tapi itulah fakta yang terjadi.
Ketika kamu bertanya pada diri kamu, apa arti kehidupan ini? Kamu pasti memikirkan satu hal, atau beberapa hal. Tapi pemikiran kamu berbeda dengan pemikiran-pemikiran lainnya. Bukankah begitu? Ya tentunya berbeda apalagi untuk menjalani kehidupan ini pasti berbeda pada setiap manusia. Walaupun ada yang menjalaninya dengan hal yang sama, tapi keinginan hati pasti berbeda, ataupun sebaliknya.
Aku pernah bilang pada diriku, aku menginginkan ini tapi yang aku dapat berbeda. Lalu otakku menjawab : “Keinginan gk selalu sama dengan apa yang kita dapat”
Contohnya saja jika kamu menginginkan permen rasa coklat tapi kamu mendapatkan ras jeruk. Ketika itu kamu marah karena yang kamu mau tidak kamu dapatkan, seperti itulah contoh keinginan dalam kehidupan kita.
Keinginan-keinginan, permohonan-permohonan, dan harapan-harapan yang kamu pinta terkadang jauh berbeda dari apa yang kamu dapatkan. Ya inilah hidup, kata aku seperti ini tapi menurut yang lain entah-lah.
Tapi bagiku smua itu tidak terlalu aku jadikan pusat dari pemikiranku, walaupun terkadang iya. Setidaknya jika aku tidak mendapatkan apa yang ku inginkan, aku sudah berusaha pada tujuanku itu.
Misalkan kamu berusaha menang dalam satu kompetisi sains internasional, kamu bahagia, tentunya tapi bukan itu keinginanmu walaupun kamu senang. Hari itu pada saat kompetisi, kamu juga ingin mengikuti kompetisi menyanyi. Waktunya bersamaan, kamu ingin menyanyi TAPI orang-orang memintamu untuk ikut kompetisi sains. Kamu tdk ingin mengecewaka mereka walaupun kamu mengecewakan hatimu.Bukankah itu sama saja keinginan tdk sesuai dgn apa yang kamu dapatkan?
(catatan tambahan: paleng wah gua ini buat tulisan, pening)

Ada yang kurang , aku mau nulis apa yang ada di otakku saat ini.
Kadangkala nih, kalian pasti punya temen deket, sahabat, pacar, sepupu, atau siapa sajalah yang bisa kalian ajak curhat.
Ada orang-orang yang mencurahkan isi hatinya semua kepada orang terdekat itu tapi kata aku sih jangan semua (sekedar saran)
Memang akan lebih lega jika cerita, curhat sama seseorang tapi sesekali cobalah besikap sedikit menggunakan pemikiran untuk kedepannya, bagaimana dan apa sebab yang akan timbul atau juga reaksi.
Saat kamu curhat pasti kamu sedang bahagia, sedih, ataupun marah bukan? Sebelum kamu cerita coba geh liat ada gk sih sisi negatifnya. Pasti ada yang bilang “Nggak ada lah”, tapi itu hanya ucapan dan terkadang dia menyesal mengucapkan itu.
Bukan dalam arti apa, curhat bukan Cuma minta di dengerin tapi ada baiknya di beri pendapat. Ya menurut aku sih kayak gitu, tapi tergantung sih pada setiap individu masing-masing gimana nilainya.
Iya kalau di dengerin?
Iya kalau ada masukan?
Iya kalau itu bermanfaat?
Kalo malah di beri penegasan yang salah gimna?
Wah kata aku sih sebelum curhat sama orang lain, mending curhat sama hati kamu sendiri dan jalan pikiran kamu karena apa yang kamu tegaskan untuk memilih, kamu tidak akan menyesalinya. Coba aja, tapi ini Cuma sekedar saran.
Sekali-kali menjalani kehidupan dan pilihan atau menyelesaian dalam hidup ini harus sendiri tanpa bantuan orang lain. Rasanya beda, walaupun gagal nyelesain tapi ada kelegaan di hati : )

Wah hidup itu rumit kalau menurutku, susah di pahami dan susah di mengerti. Aku aja menjelaskan tentnag hidup menurut pemikiranku sendiri panjang lebar ujung-ujungnya, mau di tulis semua takutnya gk di baca sama orang-orang. Soalnya di catatan aku yang sebelumnya udah ngetik 20 halaman, eh yang baca serius Cuma beberapa manusia aja.
Hm, jadi sampai di sini, nanti bakal di lanjutin catatan aku kalau sempat : )

Jangan lupa komentari ya tentang tulisan ini, apa ada yang salah kata-katanya atau jalan pikiran aku, atau aja saja yang penting di komentari : ) oke ?

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...